Tuesday 7 April 2009

PEMILIHAN UMUM INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia dilakukan setiap 5 tahun sekali. Pemilu adalah suatu proses dimana para pemilih (masyarakat ) memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan dalam dunia politik di Negara kita. Jabatan disini beraneka ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan samapai kepala desa.

Sistem yang digunakan dalam pemilu adalah luber dan jurdil. Luber adalah singkatan dari langsung, umum, bebas dan rahasia. Langsung yang dimaksud adalah para pemilih dapat memilih calonnya secara langsung tanpa perantara lagi sehingga suara terbanyak yang dipilih masyarakat dialah yang menang. Umum adalah dapat dilakukan pemilihan oleh masyarakat umum yang sudah berusia 17 tahun keatas atau sudah menikah. Sehingga masyarakat yang sudah diatas 17 tahun dapat menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon yang dipercayainya untuk memimpin negara kita. Bebas adalah setiap masyarakat babas memilih siapa saja calon yang adanya unsure paksaan. Sedangkan rahasia adalah dalam proses pemilihan ditempat, semua calon yang kita pilih bersifat rahasia, jadi tidak ada satu orang pun yang mengetahui apa yang kita pilih.

Jurdil adalah jujur dan adil, maksudnya dalam pemilu ini semua dilakukan dengan jujur tanpa adanya rekayasa dan juga adil bagi kedua belah pihak, yaitu bagi pemilih dan orang yang dicalonkan. Dalam pemilu, para pemilih dalam pemilu disebut juga dengan konstituen dan kepada merekalah para calon menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye adalah masa yang diberikan kepada para calon pemilu untuk mempromosikan partainya kepada para pemilih dengan memberitahukan program-programnya sampai menjelang hari pemungutan suara.

Setelah dilakukan pemungutan suara yang diadakan disetiap RT atau RW di daerahnya, kemudian dilakukan proses penghitungan dengan jujur dan adil. Pemenang pemilu ditentukan oleh aturan main atau system penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para calon dan disosialisasikan kepada para pemilih.

Dari pemilu pertama kali dilakukan sampai pemerintahan orde baru tahun 1998, pemilu di Indonesia menggunakan sistem proposional. Yang dimaksud sistem proposional adalah jumlah suara yang diperoleh setiap partai menentukan jumlah suara yang diperoleh dalam daerah pemilihan itu. Tetapi dalam sistem ini, para calon kurang dekat dengan pemilihnya dikarenakan peranan partai lebih menonjol daripada pribadi dari calon tersebut sehingga para calon lebih mementingkan kepentingan partainya daripada warganya.

Melihat banyak sekali permasalahan yang ada dari awal pemilu sampai orde baru maka kita akan membahas lebih jelas lagi mengenai kegiatan dan permasalahannya dalam pemilu tahun 2007 sebelum orde baru dimulai.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya di atas, maka kelompok kami merumuskan bagaimana permasalahan yang ada dalam pemilu 1997 serta kegiatan yang dilakukan selama pemilu berlangsung.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum:

Agar mahasiswa dapat lebih mengerti mengenai dunia politik. Terutama dalam pemilihan umum yang setiap 5 tahun sekali akan kita lakukan di negara kita.

1.3.2 Tujuan khusus:

Untuk mengetahui bagaimana permasalahan yang ada dalam pemilu tahun 2007 serta kegiatan yang berlangsung selama pemilu 2007.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademis:

Degan adanya makalah ini, diharapkan dapat menjadi masukkan bagi mahasiswa seputar pemilu dan dapat menjadi sumber pengetahuan dan bermanfaat bagi masyarakat.

1.4.2 Manfaat Praktis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan dapat digunakan untuk mengetahui kegiatan pemilu di Indonesia serta memberikan saran yang baik untuk pemilu selanjutnya.


BAB II

PERMASALAHAN

Sudah sembilan kali bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pemimpin negara. Pemilu yang akan kita lakukan 2009 mendatang adalah yang ke-10. Apakah perubahan-perubahan yang terjadi di dalam peraturan atau undang-undang yang mengatur Pemilu yang satu ke Pemilu berikutnya?

Pada masa Orde Baru, pemilu berlangsung secara teratur. Rangkaian pemilu Orde Baru menggunakan sistem proposional, akan tetapi yang digunakan itu bukanlah sistem proporsional murni, melainkan sistem proporsional yang sudah diubah menurut imperatif politik Orde Baru. Maksud dari sistem proporsional yang selama ini diterapkan mengandung beberapa kelemahan mendasar. Misalnya, dengan sistem proporsional, seorang anggota DPR tidak harus dikenal rakyat. Dalam sistem ini, anggota DPR tidak langsung dipilih rakyat melainkan ditunjuk partainya. Namun, di balik kelemahan itu, sistem tersebut masih mengandung nilai lebih. Sisi positifnya, partai kecil pun bisa kebagian kursi.

Pemilu 1997 penting bagi studi demokratisasi Indonesia mengingat inilah Pemilu yang diadakan di tengah suasana “pratransisi”. Di tengah suasana pratransisi, Pemilu 1997 ditandai oleh beberapa gejala, salah satunya adalah Ketika krisis ekonomi Juli 1997 melanda Asia – dan Indonesia menjadi salah satu tempat krisis yang terparah – maka lengkaplah alasan untuk menjatuhkan pemerintahan. Gagasan tentang perlunya gugatan atas legitimasi politik menguat segera setelah pemilu, disokong oleh iklim pers yang semakin bebas.

Kelebihan dari pelaksanaan sistem pemilu proporsional pada masa Orde Baru telah terbukti mampu menciptakan keamanan dan ketertiban serta pertumbuhan ekonomi. Kelemahannya adalah Pemilu 1971 – 1992 menggunakan sistem proposional, namun dalam pelaksanannya terjadi banyak penyimpangan terhadap prinsip-prinsip dasar sistem proposional.

CONTOH KASUS

Pertarungan PDI-P versus Golkar

Bulan Desember ini menjadi awal dari pertarungan Pemilu 2004. Di bulan ini, daftar partai yang berhak ikut pemilu segera diumumkan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang berada dalam proses akhir verifikasi faktual di berbagai provinsi. Di tahun 1999, sekitar 48 partai menjadi peserta pemilu. Untuk pemilu tahun 2004, karena proses seleksi yang semakin ketat, jumlah peserta pemilu agaknya jauh lebih sedikit.

Di bulan ini pula, berbagai calon legislatif dari partai peserta pemilu disusun. Para calon itu yang akan bertarung memperebutkan 550 kursi parlemen di tingkat nasional. Persentase perolehan kursi DPR juga sangat penting untuk menentukan peta aliansi pemilihan presiden. Hanya partai yang memperoleh minimal 3% kursi DPR yang berhak mengajukan calon presiden. Jika terjadi aliansi partai politik untuk paket presiden dan wakil presiden, kekuatan partai di parlemen dapat menjadi basis hitung-hitungan, siapa yang layak didudukan sebagai calon presiden.

Namun, di balik riuh rendah banyaknya partai peserta pemilu itu, pertarungan pemilu parlemen dan presiden hanya terjadi antara dua partai besar saja: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) versus Golkar. Kans paling besar menjadi pemenang Pemilu 2004, jika tak ada perubahan yang berarti, hanya seputar Partai Golkar dan PDI-P. Siapa yang akan menjadi presiden Indonesia tahun 2004, juga sangat dipengaruhi oleh dukungan partai Golkar dan PDI-P.

Bersandarkan pada hasil aneka jajak pendapat, skor pertarungan Partai Golkar dan PDI-P adalah satu lawan satu. Golkar mengungguli PDI-P dalam pemilu parlemen. Sebaliknya, PDI-P mengungguli Golkar dalam pemilu presiden.

Masih mungkinkah PDI-P mengungguli Golkar baik untuk pemilu presiden dan pemilu parlemen? Atau masih terbukakah kesempatan Golkar mengungguli PDI-P tak hanya soal pemilu parlemen tapi juga pemilu presiden?

Sama-sama Punya Reputasi

Pertarungan PDIP dan Golkar pada pemilu 2004 sangat menarik untuk dikaji. Ibarat pertarungan tinju dunia, baik Golkar maupun PDI-P sama-sama punya reputasi sebagai juara. Golkar adalah juara semua pemilu Orde Baru. Sementara PDI-P adalah juara pemilu pertama Orde Reformasi.

Dua partai itu juga punya banyak kesamaan. Berbeda dengan partai lain dalam tujuh besar partai hasil Pemilu 1999, PDI-P dan Golkar adalah partai kebangsaan. Tidak seperti PPP, PBB dan PKS, baik PDIP dan Goalkar tak pernah mengampanyekan syariat Islam di dunia pemerintahan. Berbeda pula dengan PKB dan PAN, baik PDI-P maupun Golkar juga tidak secara eksklusif berbasiskan massa agama.

PDI-P dan Golkar dibentuk memang untuk menjadi miniatur politik Indonesia yang plural. Tidak mengherankan, berdasarkan survei LSI tahun 2003, lebih dari 95% pemilih non-Muslim hanya memilih dua partai itu. Isu dan kebijakan yang diangkat oleh dua partai itu sepenuhnya isu yang kurang lebih "sekuler". Walau punya platform yang sama, namun dua partai itu harus bertarung memperebutkan tempat pertama.

Yang menarik, isu yang menjadi kelemahan PDI-P justru menjadi kekuatan partai Golkar. Sebaliknya, isu yang menjadi kelemahan Partai Golkar, justru menjadi kekuatan PDI-P. Sebelum kita analisis hasil pertarungan dua partai itu, dapat kita lihat dulu, kekuatan dan kelemahan keduanya.

Kekuatan utama partai Golkar adalah proses kelembagaannya yang sudah matang. Golkar kokoh bukan karena individu pemimpinnya semata, tapi daya tahan dan soliditas organisasinya. Ketua Umum Golkar bisa saja terkena proses hukum. Ketua Umum Golkar bisa saja "dibunuh karakternya". Tapi itu tak mengganggu konsolidasi Golkar sebagai organisasi. Jika hal serupa terjadi di partai lain, hampir dapat dipastikan partai itu akan ambruk.

Lebih dari partai politik lain, sumber daya manusia Partai Golkar juga yang paling maju. Golkar sangat beruntung menjadi partai utama sepanjang riwayat Orde Baru. Di era politik yang otoriter Orde Baru, hampir semua sumber daya manusia terbaik yang dipunyai Indonesia, terserap ke Partai Golkar. Setelah reformasi, memang terjadi migrasi politik eksponen Partai Golkar ke partai lain. Namun, mayoritas sumber daya yang tangguh masih berdiam di Golkar.

Juga lebih dari partai lainnya, jaringan Golkar ke daerah paling mengakar. Orde Baru menjadikan Golkar sebagai partai utama. Saat itu Golkar bukan saja ditumpangtindihkan dengan jaringan birokrasi pemerintah di berbagai daerah. Bahkan Golkar juga ditumpangtindihkan dengan jaringan militer di berbagai desa.

Era reformasi memang sudah memisahkan pegawai negeri dan militer dari partai politik. Namun struktur komando dan akar Golkar di daerah sudah tumbuh. Struktur itu sudah menjadi bagian dari kultur politik Golkar sendiri. Tak mudah bagi partai lain untuk mempunyai soliditas serupa karena aneka partai itu tak pernah mengalami fasilitas dan privilege seperti yang dialami Golkar.

Yang lebih penting lagi, Golkar memiliki elite politik yang sudah tinggi jam terbangnya. Mereka sudah berpengalaman dengan aneka intrik, manuver, politicking dan strategi politik sejak Orde Baru. Lapisan elite berpengalaman itu membuat Golkar lebih mudah mengatasi konflik internal partai. Partai lain yang mengalami konflik internal seperti Golkar mungkin sudah pecah menjadi dua atau tiga partai. Namun elite partai Golkar punya kemampuan memarginalkan dan mencari win-win solution bagi jenis konflik itu.

Di samping kekuatannya, Golkar tentu punya kelemahan. Ikatan historisnya dengan Orde Baru bagaimanapun tak dapat dihilangkan. Walau Golkar sudah berubah nama menjadi Partai Golkar, dengan embel-embel reformasi sekalipun, Golkar tetap Golkar. Di era tingginya semangat anti-Orde Baru, mudah sekali Golkar terkena stigmatisasi. Tak mengherankan jika di awal reformasi, Golkar dikalahkan.

Namun lima tahun reformasi, publik mulai kecewa dengan hasilnya. Publik mulai kembali merindukan spirit Orde Baru dalam hal pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas politik. Situasi itu kembali menguntungkan Golkar.

Kelemahan PDI-P

Sebaliknya, apa yang menjadi kekuatan Partai Golkar justru menjadi kelemahan PDI-P. Bahkan lebih daripada partai lainnya, PDI-P sangat tergantung dari figur Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri. Banyak sekali keputusan penting partai akhirnya diserahkan kepada hak prerogatif ketua umum. Diskresi ketua umum dengan segera mengalahkan semua keputusan yang sudah disusun secara bottom up.

Jika terjadi sesuatu dengan Megawati, misalnya, segera punya efek yang sangat besar terhadap partai. Aneka konflik internal patrtai, misalnya, dapat diselesaikan bukan karena adanya manajemen konflik yang rapi, tapi semata karena kharisma individu Megawati. Lebih dari platform partai, Megawati dianggap menjadi sentrum dan perekat partai.

Dengan struktur demikian, menjadi persoalan jika Megawati sendiri tidak memiliki iniasiatif dan core philosophy yang tegas mengenai masa depan dan kebijakan partai. Jika terjadi imobilitas pada Megawati, maka partai juga mengalami imobilitas. Dengan kesibukan Megawati sebagai Presiden RI, misalnya, konsolidasi partai menjadi terganggu pula karena amat bergantung dari diskresi ketua umumnya.

PDI-P juga punya kelemahan pada sumber daya manusianya. Memang PDI-P mempunyai akar yang panjang sejak era Orde Baru melalui PDI, tapi imbuhan "P" atau "Perjuangan", baru ditambahkan ke label "PDI" sejak era reformasi. Ketika Pemilu 1999 dilaksanakan, sumber daya manusia PDI-P diambil seadanya. Ketika PDI-P menjadi partai pemenang, PDI-P juga kaget dengan kesiapan SDM-nya.

Tidak mengherankan, banyak kasus terjadi dalam pemilihan kepada daerah. Pengurus Pusat PDI-P banyak yang mengalahkan kadernya sendiri dan lebih mendukung kader partai lawan. Demi kepentingan nasional, kader PDI-P dianggap belum kompeten. Bahkan latar belakang pendidikannya juga dianggap belum memadai. Di beberapa provinsi, bahkan PDI-P lebih mendukung calon dari partai Golkar atau purnawirawan militer.

Lemahnya SDM PDI-P tampak pula dalam penyusunan caleg Pemilu 2004. Cukup banyak intelektual, aktivis LSM dan artis yang direkrut. Di satu sisi, ini memang metode yang paling mudah untuk meningkatkan kualitas SDM PDI-P di parlemen kelak. Namun di sisi lain, ia juga dapat menjadi bom waktu. Belum tentu para intelektual itu menghayati platform partai. Jangan-jangan platform PDI-P semakin sulit terbentuk karena semakin beragamnya elite PDI-P sendiri.

Sebaliknya, kekuatan PDI-P ada pada label reformasi. Di era Orde Baru, Megawati dan PDI adalah tokoh dan organisasi yang dianggap tertindas. Meletupnya reformasi membuat publik luas menokohkan Megawati dan PDI-P. Ketika reformasi berada di puncaknya, baik Megawati maupun PDI-P terkena madunya. PDI-P menjadi partai terbesar. Megawati terpilih menjadi Wakil Presiden dan kemudian menjadi Presiden.

Namun kekecewaan publik kepada hasil reformasi kini memukul balik. PDI-P justru menjadi target tenmbakan baru. Megawati juga potensial dijadikan common enemy.


BAB III

PEMBAHASAN

Terdapat dua kategori utama dalam Sistem Pemilu, yaitu: sistem distrik dan sistem proporsional, namun ada juga sistem kombinasi (campuran) distrik-proporsional.

Sistem Distrik

Dalam sistem pemilu distrik, biasanya daerah pemilihan dibagi berdasarkan kesatuan kecil yang disebut distrik. Jika ada beberapa partai yang bertarung dalam pemilu, hanya partai yang menang berhak mengajukan wakil ke parlemen.

Pemilu sistem distrik memiliki keistimewaan, yaitu:

- Rakyat dapat memilih wakil (pribadi) bukan tanda gambar partai

- Wakil yang dipilih dituntut yang dikenal atau bermukim/berasal dari distrik yang bersangkutan

- Calon yang dipilih dituntut memiliki hubungan dekat dengan distriknya dan akan lebih memperjuangkan kepentingan masyarakat distrik bukan partainya.

- Memperlancar komunikasi antara rakyat dengan wakilnya

Kelemahannya, yaitu;

- Merugikan partai kecil yang kalah pemilu karena suara yang dihitung hanya partai mayoritas

- Ada kemungkinana si wakil hanya lebih mementingkan distriknya ketimbang kepentingan nasional

Sistem Proporsional

Dalam sistem proporsional, jumlah suara yang diperoleh setiap partai menentukan jumlah suara yang diperoleh dalam daerah pemilihan itu. Perbedaan lainnya dari sistem distrik, bahwa dalam sistem proporsional tidak ada suara yang dianggap hilang.

Kelemahannya yang terdapat dalam sistem proporsional, wakil yang dipilih renggang ikatannya dengan warga pemilihnya. Pertama, karena dalam sistem ini peranan partai lebih menonjol ketimbang pribadi calon sehingga wakil yang dipilih kemungkinan lebih memperhatikan kepenting partai atau nasional dari pada kepentingan distrik atau warganya. Kedua, karena wilayah pemilihan yang besar maka rakyat sukar mengenal calon yang akan dipilihnya, apalagi tidak mutlak berasal dari daerah pemilihan bersangkutan.

Lazimnya, dalam sistem pemilu proporsional maka ”nilai kursi” (seat value) dari setiap kursi yang diperoleh pada suatu daerah pemilihan seharusnya juga proporsional. Pada Pemilu 1999 dan 2004, nilai kursi yang diperoleh antar parpol dalam satu daerah pemilihan tidak proporsional dgn proporsi jumlah suara, karena dalam penentuan jumlah perolehan kursi dipakai metode sisa suara terbanyak (largest remainder method) yang bias dan tidak proporsional. Sebagai ilustrasi dapat dilihat sebagai berikut :

Pada Daerah Pemilihan A dengan 6 kursi.

Partai A : 250.000 suara.

Partai B : 225.000 suara.

Partai C : 210.000 suara.

Partai D : 205.000 suara.

Partai E : 92.000 suara.

Partai F : 91.000.suara.

Suara sah seluruhnya adalah 1.073.000. BPP adalah 1.073.000 : 6 = 178.833.

Dengan demikian pembagian kursi dilakukan sebagai berikut :

Pembagian kursi tahap pertama berdasar BPP :

Partai A : 1 kursi dengan sisa suara 71.167.

Partai B : 1 kursi dengan sisa suara 46.167.

Partai C : 1 kursi dengan sisa suara 31.167.

Partai D : 1 kursi dengan sisa suara 26.667.

4 kursi terbagi dalam tahap pertama berdasar BPP. Sisa 2 kursi untuk dibagi pada tahap kedua.

Pembagian kursi tahap kedua berdasar sisa suara:

Partai E : 1 kursi karena sisa suaranya (92.000) terbesar dibanding sisa suara partai lain.

Partai F : 1 kursi karena sisa suaranya (91.000) terbesar kedua dibanding sisa suara partai lain.

Perbandingan suara Partai A dengan Partai E adalah 250.000 berbanding 92.000 atau 2,7 berbanding 1, akan tetapi sama-sama memperoleh 1 kursi.

Perbandingan suara Partai A dengan Partai F adalah 225.000 berbanding 91.000 atau 2,7 berbanding 1, akan tetapi sama sama memperoleh 1 kursi.

Sistem Pemilu Kombinasi Distrik-Proporsional

Selain kedua bentuk utama sistem pemilu di atas, terdapat pula sistem campuran. Artinya, dalam sistem ini setiap pemilih mempunyai dua suara: memilih calon berdasarkan distrik dan sekaligus berdasarkan sistem proporsional. Contohnya Australia, dalam sistem pemilihannya melalui bentuk pemerintahan menggunakan sistem dua kamar: Senat (Upper House) dan Majelis Rendah (Lower House). Untuk pemilihan anggota senat, tiap Negara bagian mempunyai 12 wakil yang dipilih berdasarkan sistem proporsional. Sedangkan anggota majelis rendah dipilih melalui urutan daftar prioritas calon berdasarkan sistem distrik.

Pengikut sistem proporsional menganggap bahwa sistem campuran yang masih ada unsur distriknya masih terdapat kesenjangan perolehan kursi dengan jumlah pemilihan (distortion effect), sedangkan penganut sistem distrik berpendapat bahwa sistem campuran yang mengandung unsur proporsional tidak menunjang secara penuh kontrak rakyat dengan wakilnya.

Sistem Kepartaian dan Pemilu di Indonesia

Riwayat kehidupan partai politik di Indonesia pada awalnya lahir karena tujuan pergerakan dan perkembangan, terakhir melalui Pemilu 2004, sistem kepartaian multi-party masih tetap dipertahankan. Sedangkan perubahan terjadi dalam sistem pemilu yang digunakan berkombinasi antara distrik dan proporsional. Jika dilihat ciri-ciri sistem distrik tampak melalui pemilihan Presiden secara langsung dan pemilihan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), sedangkan ciri sistem proporsional masih tetap dipertahankan secara dominan dalam pemilihan anggota DPR/DPRD.

Dengan adanya berbagai kasus yang terjadi pada Pemilihan Umum masa Orde Baru, maka terbuktilah bahwa kelemahan pokok dari rangkaian pemilu tersebut adalah tidak otonomnya panitia pelaksana pemilu, antara lain:

Pertama: Campur Tangan Pemerintah:

1. Hubungan calon dan pemilih: antara wakil dan pemilih terjadi melalui partai dan pemerintah, seharusnya hanya dimungkinkan melalui partai.

2. Pencalonan: Wakil rakyat dicalonkan oleh partai dan diseleksi oleh pemerintah, sehingga para wakil rakyat kebanyakan bukan orang-orang yang sungguh-sungguh dikenal oleh pemilihnya.

3. Masalah recall: Dikenakan hanya terhadap wakil rakyat yang dinilai ‘terlalu kritis’ terhadap pemerintah.

4. Tanggung jawab wakil rakyat: tiga kecenderungan di atas berimplikasi luas, karena tanggung jawab wakil rakyat tidak hanya ditujukan kepada partai, tetapi juga kepada pemerintah.

5. Masalah hubungan PNS – Golkar: Keterkaitan PNS yang tergabung dalam Korpri dan terutama dengan Golkar menyebabkan terjadinya berbagai kepincangan dan ketidakjelasan tentang posisi PNS itu sendiri.

Kedua: Masalah Kepartaian:

1. Keterlibatan pemerintah yang amat besar dalam restrukturisasi kepartaian sejak awal Orde Baru serta campur tangan birokrasi sipil dan militer dalam urusan intern partai politik mengakibatkan terjadinya penyimpangan yang sangat prinsipil dalam rangkaian pemilu tersebut. Beberapa di antaranya:

o Aspek keterwakilan: Sistem proporsional murni seharusnya menguntungkan partai-partai kecil, namun yang terjadi justru sebaliknya.

o Jumlah partai: Pembatasan multipartai yang bertentangan dengan sistem proporsional murni yang memungkinkan multi partai.

o Otoritas partai: Kekuasaan pemerintah seringkali lebih besar dibanding kekuasaan partai.

o Masalah Penelitian Khusus: Diberlakukannya ‘Litsus’ menyebabkan tampilnya para wakil rakyat yang cenderung hanya menyetujui dan membenarkan kebijakan pemerintah.

o Massa mengambang: Organisasi partai hanya sampai ke daerah tingkat II, tidak boleh sampai ke desa, kecuali Golongan Karya yang memanfaatkan perangkat birokrasi.

o Dominasi satu OPP: Sistem proporsional mengarah kepada terbentuknya pemerintahan koalisi, namun yang terjadi pada masa Orde Baru justru sebaliknya.

Ketiga: Organisasi/ Panitia Pelaksana:

1. Dominannya pemerintah dalam kepanitiaan membuat kehadiran unsur OPP di dalamnya cenderung bersifat formal dan "kosmetik" belaka. Intensitas keterlibatan pemerintah tampak pada:

o LPU dan Panwaslakpus: LPU diketuai Mendagri, Panwaslakpus dipimpin oleh Jaksa Agung.

o PPI (Panitia Pemilihan Indonesia), PPD (Panitia Pemilihan Daerah), dan PPS: didominasi oleh pemerintah.

o KPPS dan Pantarlih: Hanya diisi oleh unsur-unsur pemerintah

Keempat: Keabsahan:

1. Dari segi keabsahan prosedural saja, praktek pemilu yang berlaku masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini terlihat dalam:

Kontrol Pemilih dan OPP: Dominannya pemerintah dan berlakunya massa mengambang cenderung memperlemah kontrol pemilih dan partai terhadap penyelenggaraan pemilu.

2. Kebebasan memilih: Misalnya: TPS di lingkungan kantor pemerintah dan dilaksanakannya pemungutan suara bukan pada hari libur, memberikan "tekanan diam-diam" terhadap pegawai negeri.

3. Minggu tenang: Di pedesaan tidak jarang terjadi intimidasi terhadap warga agar memilih Golkar.

4. Penghitungan suara: penghitungan suara selama ini cenderung dilakukan secara tertutup, tanpa keterlibatan OPP maupun saksi yang independen.

Kelima: Kedaulatan rakyat.

1. Kuatnya dominasi pemerintah di satu sisi, dan lemahnya kedudukan partai serta wakil rakyat di sisi lain membuat cita-cita kedaulatan rakyat tidak terwujud.

Keenam: Lembaga Perwakilan.

1. Jumlah dan jaringan partai dibatasi dan pemerintah secara intens terlibat, sehingga cita-cita pemerinthan perwakilanpun tidak bisa dicapai.

Ketujuh: Pergantian pemerintah secara teratur.

1. Rangkaian pemilu yang terjadi tidak menjamin terjadinya pergantian pemerintahan secara teratur. Seluruh perundangan/peraturan penentu hasil pemilu dari paling atas ke paling bawah disusun sedemikian rupa untuk mempertahankan pemerintah yang ada.

Enam pemilu Orde Baru telah menghasilkan pola perimbangan antarkekuatan politik yang khas dan terjaga. Golongan karya (Golkar) selalu menjadi pemenang dengan perolehan suara mayoritas mutlak, antara 62,11% hingga 73,16%. Selain itu, pemilu-pemilu Orde Baru juga ditandai dengan tingginya tingkat partisipasi politik. Tahun 1971: 94,2%; 1977: 90,93% ; 1982: 92,03% ; 1987: 91,3%; 1992: 90,91%. Termasuk tertinggi di dunia.

Kelebihan Pemilu 1997:

1. Berhasil dilangsungkan tepat pada waktunya.

2. Berhasil menarik keterlibatan sebanyak mungkin warga negara Indonesia. Tercatat 63% (124.740.987) dari seluruh penduduk Indonesia terdaftar sebagai pemilih; dan 90,58% dari pemilih terdaftar dinyatakan menggunakan hak pilihnya secara sah.

3. Terdiri dari 12 tahapan, namun bersifat sederhana. Membuka kemungkinan setiap warga negara yang mempunyai hak pilih diikutsertakan, sehingga warga negara yang buta huruf dan/atau tunawisma sekalipun dapat menggunakan hak pilihnya.

4. Ketiga penegasan tersebut merupakan kelebihan pemilu di Indonesia sebagai suatu sistem yang telah melembaga. Namun tetap saja bersifat formal. Dinamika di dalam kelembagaan sistem itu masih tidak dipedulikan yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kadar kualitasnya.

Kekurangan Pemilu 1997:

1. Masih memperlihatkan nuansa mobilisasi lebih daripada partisipasi pemilih, sehingga mengesankan "tindakan memilih" sebagai suatu kewajiban lebih daripada sebagai suatu hak.

2. Peraturan perundang-undangan tentang Pemilu telah menjadi salah satu faktor yang kurang kondusif bagi pembangunan landasan pelaksanaan pemilu sebagai aktualisasi kedaulatan rakyat secara adil terutama bagi para peserta pemilu (OPP). Ini mengisyaratkan perlunya pembaruan bukan hanya UU tentang pemilu, tetapi juga peraturan perundangan lainnya yang terkait seperti UU Parpol dan Golkar dan berbagai peraturan pelaksanaannya.

3. Sangat dicemari oleh beragam indikasi kecurangan dan pelanggaran pelaksanaan proses pemilu. Faktor utama penyebabnya adalah pelaksana pemilu yang di dalam dirinya tidak memberijaminan untuk dapat bersikap netral terhadap OPP.

Hasil Pemilu 1997

Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.

PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar. Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.

No

Partai

Suara

% Kursi

% (1992)

Keterangan

1.

Golkar

84.187.907

74,51

325

+ 6,41

2.

PPP

25.340.028

22,43

89

+ 5,43

3.

PDI

3.463.225

3,06

11

- 11,84

JUMLAH

112.991.150

100

425

100


Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.

Kesimpulan akhir: pelaksanaan pemilu 1997 masih banyak mengandung dan membawa cacat. Hal-hal yang menonjol dalam pelaksanaan pemilu justru terletak pada aspek-aspek formalitas.


BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Pada masa Orde Baru, Pemilu berlangsung secara teratur. Rangkaian pemilu Orde Baru menggunakan sistem proposional, akan tetapi yang digunakan itu bukanlah sistem proporsional murni, melainkan sistem proporsional yang sudah diubah menurut imperatif politik Orde Baru. Maksud dari sistem proporsional yang selama ini diterapkan mengandung beberapa kelemahan mendasar.

Pemilu 1997 penting bagi studi demokratisasi Indonesia mengingat inilah Pemilu yang diadakan di tengah suasana “pratransisi”. Di tengah suasana pratransisi, Pemilu 1997 ditandai oleh beberapa gejala, salah satunya adalah Ketika krisis ekonomi Juli 1997 melanda Asia – dan Indonesia menjadi salah satu tempat krisis yang terparah – maka lengkaplah alasan untuk menjatuhkan pemerintahan.

Seluruh partai yang terdaftar sangat bersaing dengan partai-partai lain contohnya PDI-P dan Golkar. Partai ini sama-sama memiliki kekuataan masing-masing. Dan memiliki keunggulan masing- masing.

Kelebihan dari pelaksanaan sistem pemilu proporsional pada masa Orde Baru telah terbukti mampu menciptakan keamanan dan ketertiban serta pertumbuhan ekonomi. Kelemahannya adalah Pemilu 1971 – 1992 menggunakan sistem proposional, namun dalam pelaksanannya terjadi banyak penyimpangan terhadap prinsip-prinsip dasar sistem proposional.

3.2 Saran

Saran dari kelompok kami mengenai pemilu yang ada di Indonesia ini adalah bahwa dalam pelaksanaan pemilu harus diadakan secara jujur dan adil sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan dilaksanakan dengan tertib. Dalam prosesnya juga harus sesuai dengan UU yang berlaku.

Rakyat Indonesia harus bisa memilih dan menentukan pemimpin yang tepat untuk bangsanya. Dan pembangunan yang sedang dibangun harusnya diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang sudah ada.,tanpa ada yang di kurang-kurangi. Pemilu harus lebih baik lagi dalam pemilihan pemimpin yang berkualitas, jangan sampai salah memilih dan sesuai dengan pilihan rakyat Indonesia.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home