Friday 13 March 2009

RUMAHKU DI PEGUNUNGAN SAMPAH

Gambaran kota Jakarta yang merupakan kota metropolitan dan pusat pemerintahan sepertinya menjanjikan lapangan pekerjaan bagi para urban yang pindah ke Jakarta. Nyatanya, hidup di Ibukota yang menjadi pilihan banyak orang dari daerah tidak semulus yang mereka bayangkan. Banyak dari antara mereka yang terpaksa mengais rejeki dengan meminta-minta di jalanan atau harus memunguti sampah di berbagai tempat sebagai pemulung. Segala cara pun dijalani sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin kompleks disertai harga barang-barang yang semakin melangit.

‘Pegunungan sampah’ adalah frasa yang tepat untuk menggambarkan keadaan tempat tinggal anak-anak pemulung di TPA (Tempat Pemusnahan Akhir) Bantar Gebang. Kecamatan Bantar Gebang merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah Kota Bekasi. Kecamatan yang berdiri pada tahun 1981 ini merupakan pertambahan dari kecamatan Setu dan merupakan tempat pemusnahan akhir bagi sampah-sampah seluruh warga Jakarta.

Peningkatan jumlah pendatang yang mencari rejeki di Ibukota menyebabkan didirikannya rumah-rumah liar di sekitar TPA Bantar Gebang. Kondisi lingkungan yang buruk berpengaruh pada kesehatan penduduk khususnya anak-anak. Keikutsertaan anak-anak membantu orang tuanya memilah sampah berupa plastik, botol, kaca, kain, dan benda-benda lain memperburuk keadaan ini.

Jalanan terbuat dari beton yang memungkinkan truk-truk besar pengangkut sampah lewat berbanding terbalik dengan jalanan di sekeliling pemukiman tempat tinggal seorang bocah benama Samarudin. Sampah yang berserakan di sekitar pemukiman tempat tinggalnya membuat jalanan tersebut empuk ketika terinjak. Rumahnya merupakan rumah petak yang berdempet-dempetan untuk delapan keluarga. Kolam sampah plastik kresek berwarna hitam dan putih mendominasi bagian depan rumah-rumah petak tersebut. Bocah 11 tahun itu tetap ceria di tengah sibuknya orang-orang dewasa yang sedang menimbang tumpukan sampah dikelilingi lalat-lalat yang beterbangan ke segala arah.

Sejauh mata memandang, tumpukan sampah setinggi gunung mendominasi pemandangan. Traktor-traktor berada di puncak gunung sampah untuk mengeruki dan meletakkan sampah tersebut ke dalam bak truk-truk yang mengantri di bawahnya. Sampah-sampah tersebut adalah sampah-sampah warga Jakarta yang berhasil dipunguti pemulung untuk dijadikan sumber mata pencaharian mereka. Mereka mengerahkan daya upayanya untuk berlomba, berebut, mengais, tumpukan sampah satu persatu dari berbagai daerah di Jakarta kemudian ditimbun menjadi beberapa pegunungan sampah.

Ayah Ibu Samarudin yang bekerja sebagai pemulung pindah ke Jakarta karena tidak ada pekerjaan lain di kampungnya, Karawang. Samarudin memiliki satu orang kakak dan satu orang adik. Bocah kurus berpenampilan kumal itu sudah tidak bersekolah lagi. “Sekolahnya cuma sampai kelas 4. Teteh juga sudah berhenti. Sekarang di Karawang, sudah kawin,” akunya. Ia berbicara sambil menggigiti kuku jari-jari tangannya yang hitam tanpa peduli kesehatannya.

Di saat anak-anak lain sebayanya bangun pagi untuk berangkat sekolah, lain halnya dengan Samarudin yang harus bangun pagi-pagi untuk membantu orang tuanya memungut sampah. Pukul 6 pagi sampai 3 siang, Samarudin memunguti sampah untuk kemudian dikumpulkan, ditumpuk, kemudian ditimbang setiap 2 minggu sekali untuk mendapat bayaran sesuai berat timbangan.

Saat siang hari di kala tidak ada pekerjaan untuk anak-anak seusianya, Samarudin biasa bermain sepeda bersama teman-temannya mengelilingi TPA Bantar Gebang. Bau busuk dari tumpukan sampah yang menggunung dan truk-truk pengangkut sampah yang berseliweran hilir mudik di jalanan sekitar pemukimannya tidak menjadi penghalang baginya untuk menikmati hari-harinya.

Dalam dua minggu, Samarudin dan keluarganya dapat memperoleh penghasilan Rp 800.000 – Rp 900.000. Berarti dalam sebulan, mereka dapat menghasilkan sekitar Rp 1.600.000 – Rp 1.800.000. Sejumlah uang yang cukup sedikit tidak setimpal dengan usaha 3 orang yang mengerahkan tenaganya dari pagi hingga siang hari di kubangan sampah. Samarudin masih bersyukur dapat makan dua kali sehari. Untuk 4 orang kepala di dalam keluarganya, rasanya sulit bagi mereka untuk mencukupi nilai gizi dengan penghasilan sedemikian.

Samarudin, bocah pemulung yang tinggal di pemukiman tak layak di TPA Bantar Gebang itu mungkin belum bisa merasakan beratnya hidup ini. Duka yang ia alami mungkin tidak seberat duka orang tuanya. Teman bermain dan bersenda gurau merupakan pelipur lara yang dimilikinya. Rumah di pegunungan sampah merupakan istananya dan sampahlah hartanya. Dalam lubuk hatinya, Samarudin tentu memiliki cita-cita yang sampai sekarang masih belum dapat ia bayangkan. Untuk sekadar membaca dan menulis saja ia sudah lupa. Harapan satu-satunya adalah dapat kembali bersekolah.

Anak-anaklah yang akhirnya menjadi korban dari keadaan ini. Di usia yang belum dewasa, mereka sudah harus membanting tulang untuk membantu orang tua. Pendidikan dan kesehatan dinomorduakan. Yang terpenting adalah mencari uang dan makan. Pada akhirnya banyak anak-anak tumbuh menjadi pelaku tindak kriminal. Begitulah cara yang harus mereka gunakan untuk dapat bertahan hidup di Ibukota. Jika sudah begini, siapa yang harus disalahkan?

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home