Friday 13 March 2009

DERITA HIDUP ANAK JALANAN DI KOLONG JEMBATAN

Sejak dulu, anak jalanan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, tak terkecuali di kota-kota besar seperti Jakarta. Hal tersebut disebabkan karena tingginya tingkat kelahiran, namun kurangnya lapangan pekerjaan, dan rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia. Anak-anak jalanan yang dimaksudkan di sini adalah anak-anak yang berusia di bawah 12 tahun yang mungkin tidak lagi bersekolah atau bahkan tidak pernah bersekolah sama sekali sehingga menyebabkan mereka tidak memiliki keahlian apa-apa dan akhirnya hal yang bisa mereka lakukan hanyalah mengemis, mengamen di rumah makan, lampu merah, dan di banyak tempat umum lainnya; bahkan ada juga anak-anak jalanan yang pekerjaannya sebagai pemulung.

Banyaknya anak-anak yang berkeliaran di tempat-tempat umum dan jalan raya, salah satunya disebabkan oleh faktor ekonomi keluarga yang tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari atau tak jarang mereka adalah anak yatim piatu yang tidak tahu orang tuanya berada di mana. Jika keadaan sudah begini, entah terpaksa atau tidak, mereka telah menjadi anak jalanan dan terkadang pemerintah-lah menjadi kambing hitam atas permasalahan ini.

Meski banyak pihak telah menyediakan tempat penampungan resmi bagi anak jalanan agar hidup mereka lebih tertata, namun kadang kala beberapa dari mereka lebih memilih menjadi gelandangan untuk meminta-minta atau ikut seseorang yang sering mereka sebut “Bapak-Bapakan” atau “dedengkot” yang menjadikan mereka komoditi pengeruk pundi-pundi rupiah. Secara tidak sadar, anak-anak jalanan itu dimanfaatkan untuk menjadi pengamen atau pengemis atau bahkan untuk disewakan kepada pengemis lain yang lebih tua untuk pura-pura menjadi anak mereka. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena dengan begitu penghasilan mereka lebih besar dan hidup mereka lebih bebas daripada harus tinggal di tempat penampungan yang resmi.

Tak jarang anak-anak jalanan harus berhadapan dengan polisi yang ingin menertibkan jalan. Mereka harus waspada dan segera sembunyi jika melihat tanda-tanda akan diadakan razia di tempat mereka. Tak bisa dipungkiri, kesulitan hidup yang dialami oleh anak-anak jalanan seringkali mambuat mereka menjadi penyebab kemacetan lalu lintas dan timbulnya tindakan kriminal di berbagai tempat. Jika demikian, yang mungkin kita dan Pemerintah lakukan untuk mengurangi timbulnya hal-hal demikian adalah hanya dengan mengurangi anak-anak jalanan. Salah satunya adalah dengan membuat peraturan daerah (perda) yang melarang warga untuk memberi sedekah bagi anak jalanan.

Baru-baru ini telah ditetapkan sebuah peraturan daerah (perda) tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPRD DKI, Senin (10/9). Perda baru yang itu merupakan penyempurnaan Perda No 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum yang dianggap tak lagi memadai menghadapi perkembangan kondisi Ibu Kota DKI Jakarta.

Larangan memberi sedekah kepada pengemis maupun melakukan aktivitas mengemis itu termuat dalam pasal 40 huruf b, dan c. Jika larangan tersebut dilanggar maka akan mendapat denda hingga maksimal 20 juta atau kurungan 60 hari. Tak hanya itu, pemberlakuan larangan pun tak hanya berlaku bagi para pelaku dan pemberi sedekah bagi pengemis saja, melainkan juga terhadap pihak-pihak yang mengorganisasi, atau memerintahkan aktivitas tersebut. Dan, sanksi bagi mereka ini lebih berat, sesuai pasal 61 ayat 2, yaitu sebesar 30 juta atau kurungan 90 hari.

Hal tersebut sama sekali tidak dimasudkan untuk melarang warga melakukan amal kebajikan, namun lebih dimaksudkan untuk mentertibkan kehidupan di kota besar seperti di Jakarta dan untuk mendidik anak-anak jalanan agar tidak merasa dimanjakan sehingga membuat mereka keenakan dan malas untuk mencari pekerjaan lain.

Peraturan Daerah tersebut juga diadakan mengingat kemiskinan dan pengemis sudah pada taraf meresahkan sehingga perlu ada ketentuan yang mengatur keberadaan mereka. Dengan adanya peraturan ini diharapkan dapat meningkatkan budaya tertib dan disiplin bagi warga Jakarta.

Terlepas dari timbulnya pro dan kontra terhadap peraturan ini, anak jalanan yang menjadi subjek dari peraturan inilah yang mengalami dampaknya meskipun belum terasa dalam waktu dekat ini.

Kolong jembatan Cipinang sudah lama dijadikan tempat berteduh bagi sebagian anak-anak jalanan yang berada di DKI Jakarta. Observasi mengenai anak jalanan ini kami lakukan pada hari Rabu, 12 September 2007 pukul 13.00-14.00 WIB.

Anak jalanan yang kami temui ternyata adalah anak kembar yang bernama Udin dan Oji. Ketika kami melihat mereka sedang bermain bola dari botol minuman di bawah kolong jembatan Cipinang, kami mulai mencoba mendekati mereka. Pada mulanya mereka merasa agak takut, namun ketika kami memberi mereka makanan kecil dan menanyakan nama mereka baik-baik, mereka pun mulai kelihatan tidak takut lagi, malahan mereka mencium tangan kami satu per satu.

Udin dan Oji berusia 7 tahun. Mereka memakai baju kaus dan celana pendek yang kotor dan wajah mereka juga kotor oleh ingus yang tidak dibersihkan. Udin dan Oji lalu mengajak kami ke rumahnya yang berada tepat di samping rel Kereta Api Cipinang. Rumah mereka hanya terbuat dari gerobak tempat berjualan rokok di pinggir jalan yang sudah tidak terpakai lagi. Gerobak itu dipasangi terpal untuk melindungi mereka dari hujan dan di dalamnya hanya terdapat 1 buah kasur kapuk yang sudah tidak layak pakai sebagai alas tidur mereka.

Di tempat yang mereka sebut rumah itu ternyata sedang tidur kakak mereka yang bernama Fahmi dan kakak yang lain yang bernama Bintang sedang bermain bersama Bapaknya. Fahmi berusia 12 tahun dan pernah bersekolah sampai kelas 3 SD, sedangkan Bintang berusia 10 tahun dan pernah bersekolah hanya sampai kelas 1 SD. Tak sama dengan kedua kakak mereka, Udin dan Oji tak pernah mengenyam bangku sekolah dikarenakan sudah tidak ada biaya sama sekali.

Bintang juga kelihatan senang menerima kedatangan kami sehingga tak sulit bai kami untuk bertanya-tanya mengenai pengalaman mereka selama menjadi anak jalanan di kolong jembatan. Sesekali Bapak mereka yang bernama Edwin juga ikut menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.

Bapak Edwin bekerja sebagai pemulung yang berpenghasilan sekitar Rp 10.000 setiap harinya. Ia memunguti botol-botol bekas di jalanan untuk dijual. Begitupun dengan Ibu mereka yang bernama Suminar yang saat itu sedang bekerja memungut botol bekas. Biasanya mereka bekerja secara bergantian karena harus mengawasi anak-anak mereka yang masih kecil-kecil.

Dengan peghasilan yang jauh dari cukup itu, mereka hanya mampu membeli nasi bungkus yang harus dimakan sebungkus berdua dan membeli air bersih yang harganya Rp 1.000 seember untuk keperluan air minum. Untuk mandi saja mereka harus menumpang pada pos yang letaknya tak jauh dari tempat mereka.

Ketika ditanya mengenai apa yang sudah pemerintah lakukan untuk mengatasi masalah ini, Pak Edwin menjawab Pemerintah belum melakukan apa-apa. Kemudian kami bertanya apakah ada tempat penampungan yang didirikan oleh Pemerintah untuk menampung gelandangan dan anak jalanan, Pak Edwin pun mengaku tdak tahu menahu. Dan ketika kami membahas peraturan daerah yang melarang orang memberikan sedekah bagi para pengemis dan anak jalanan, Pak Edwin kontan tidak setuju, namun sampai sekarang ia belum begitu merasakan dampaknya.

Bintang bercerita, sesekali ia berinisiatif menjadi pengamen di lampu merah I Gusti Ngurah Rai, Klender untuk membantu orang tua mereka. Bintang biasanya mengamen pada malam hari, sekitar pukul 19.30-21.00 WIB. Penghasilannya bisa mencapai Rp 15.000 sehari. Namun orang tuanya kurang setuju karena takut anaknya diajak oleh dedengkot atau “Bapak-Bapakan” untuk ikut menjadi anaknya. Oleh karena itu Pak Edwin harus mengawasi Bintang dari kejauhan kalau ia sedang mengamen di lampu merah. Sementara Fahmi bekerja sebagai pemulung sama seperti Bapak Ibunya.

Pernah suatu hari Udin dan Oji yang masih kecil dan belum bisa bekerja ditangkap polisi karena bermain-main di taman. Akhirnya Pak Edwin harus menjemput mereka pulang dan membuat perjanjian bahwa anaknya tidak boleh bermain di taman itu lagi.

Beginilah derita hidup anak jalanan. Mereka masih memiliki banyak harapan untuk masa depan. Ketika kami bertanya apa harapan dan cita-cita mereka, Bintang, Udin, dan Oji ingin sekali dapat bersekolah. Mereka ingin sekali bisa membaca dan menulis. Bintang ingin menjadi seorang pilot, Udin ingin menjadi polisi, dan Oji ingin menjadi ABRI. Namun harapan hanya tinggal harapan. Sangat sulit bagi mereka untuk menghadapai masa depan.

Bukannya tidak ingin memberi sedekah kepada anak-anak jalanan, namun alangkah baiknya jika kita Sebagai warga Jakarta memberikan sumbangan dengan langsung memberikan kepada yayasan resmi atau ke tempat-tempat ibadah. Selain lebih tepat sasaran, sembangan yang kita berkan juga dapat dialokasikan untuk hal-hal yang jelas menunjang kehidupan anak-anak jalanan tersebut.

Tak hanya itu, dengan tidak memberikan sedekah kepada anak-anak jalanan diharapkan dapat mengurangi para “dedengkot” yang memperkerjakan anak-anak jalanan demi keuntungan pribadinya. Niscaya hal tersebut juga dapat menimbulkan kesadaran bagi anak-anak jalanan untuk tinggal di tempa-tempat penampungan yang resmi daripada harus berkeliaran di jalan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home