Friday 13 March 2009

KEHIDUPAN PEMULUNG BANTAR GEBANG

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sebagai makhluk sosial, manusia tak dapat dilepaskan dari kehidupan bermasyarakat. Manusia memiliki id, ego, dan superego dalam memenuhi kebutuhan mereka. Kebutuhan manusia dapat dibagi menjadi delapan tingkatan (Abraham Maslow) dan kebutuhan yang paling dasar adalah Physiological Needs atau kebutuhan fisik yang dapat dipenuhi dengan pakaian, makanan, dan kebutuhan akan reproduksi. Manusia harus memenuhi kebutuhan yang paling dasar terlebih dahulu baru dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan di tingkat selanjutnya. Untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan tersebut, manusia harus bekerja.

Hidup di kota besar seperti di Jakarta ini, dapat kita temui berbagai macam pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Mulai dari pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan kepintaran sampai pekerjaan yang tidak membutuhkan kedua hal tersebut pun dijalani sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin kompleks. Mulai dari pegawai kantoran yang gajinya dapat untuk membeli mobil mewah sampai pemulung dengan penghasilan yang jauh dari cukup dapat kita temui dalam keseharian hidup di setiap kota di Indonesia, terlebih di kota Jakarta.

Nyatanya, hidup di Jakarta yang menjadi pilihan banyak orang dari daerah tidak semulus yang mereka bayangkan. Gambaran kota Jakarta yang merupakan kota metropolitan dan pusat pemerintahan sepertinya menjanjikan lapangan pekerjaan bagi para urban yang pindah ke kota Jakarta. Namun apa jadinya? Hidup mereka di kota metropolitan ini tak lebih baik dari hidup di desa asal mereka. Banyak dari antar mereka yang terpaksa harus mengais rejeki dengan meminta-minta di jalanan atau harus memunguti sampah di berbagai tempat sebagai pemulung.

Dalam laporan kali ini akan dibahas banyak hal mengenai salah satu mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat di Jakarta, yaitu: pemulung. Bantar Gebang kami pilih menjadi tempat penelitian kami karena Bantar Gebang yang terletak di wilayah Kota Bekasi itu merupakan TPA (Tempat Pemusnahan Akhir) bagi sampah-sampah dari seluruh warga Jakarta dan di sana terdapat pemukiman pemulung yang menjadi objek penelitian kami kali ini.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam laporan ini, akan banyak dibahas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan suka duka hidup di pemukiman pemulung, misalnya:

1. Sudah berapa lama tinggal di pemukiman pemulung Bantar Gebang, Bekasi

2. Memungut sampah dari pukul berapa sampai pukul berapa

3. Memungut sampah di daerah mana

4. Sehari mendapat penghasilan berapa dari memungut sampah

5. Bagaimana hasil tersebut mereka pergunakan

6. Mengapa mereka lebih memilih tinggal di pemukiman pemulung Bantar Gebang, Bekasi daripada di kampung

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dibuatnya laporan ini adalah untuk menjawab setiap pertanyaan yang muncul dalam rumusan masalah. Sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang lengkap dan saran yang baik bagi pembaca untuk dapat mengenal lebih dekat para pemulung dan lingkungan hidupnya, seperti:

1. Mengetahui sudah berapa lama tinggal di pemukiman pemulung Bantar Gebang, Bekasi

2. Mengetahui mereka memungut sampah dari pukul berapa sampai pukul berapa

3. Mengetahui daerah tempat mereka memungut sampah

4. Mengetahui penghasilan mereka setiap hari dari memungut sampah

5. Mengetahui bagaimana hasil tersebut mereka pergunakan

6. Mengetahui mengapa mereka lebih memilih tinggal di pemukiman pemulung Bantar Gebang, Bekasi daripada di kampung

1.4 Kondisi Fisik Dan Lingkungan TPA Bantar Gebang

Letak dan Luas Wilayah

Kecamatan Bantar Gebang merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah Kota Bekasi. Kecamatan ini berdiri pada tahun 1981 dan merupakan pertambahan dari kecamatan Setu. Batas-batas wilayah Bantar Gebang:

- Sebelah Utara berbatasan dengan daerah Tambun

- Sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Bogor

- Sebelah Timur berbatasan dengan daerah Setu

- Sebelah Selatan berbatasan dengan kabupaten Bogor

Daerah Bantar Gebang dan sekitarnya dilalui oleh jalur utama Jalan Raya Bekasi-Bogor dan sekaligus sebagai daerah industri, permukiman, dan pertanian.

Keadaan Penduduk

Pesatnya kegiatan pembangunan di wilayah kecamatan Bantar Gebang merupakan daya tarik tersendiri bagi penduduk daerah lain. Hal ini terutama disebabkan oleh banyaknya perusahaan-perusahaan yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 terjadi peningkatan urbanisasi yang cukup signifikan. Gejala ini juga diikuti oleh terdapatnya peningkatan jumlah pendatang yang mendirikan rumah liar di sekitar TPA. Kondisi lingkungan yang buruk berpengaruh pada kesehatan penduduk khususnya anak-anak yang diperlihatkan dengan penampilan yang tidak sehat. Hal ini diperburuk lagi dengan keikutsertaan anak-anak membantu orang tuanya memilah sampah berupa plastik, botol, kaca, kain, dan benda-benda lain yang memiliki nilai tukar yang cukup berarti. Penyakit yang diderita oleh penduduk di sekitar TPA Bantar Gebang adalah Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), penyakit gigi, infeksi kulit, anemia, diare, disentri, pneumonia, dan infeksi telinga.

Tempat Pemusnahan Akhir (TPA) Sampah

Pada tahun 1986 Pemerintah DKI Jakarta mulai membangun TPA Bantar Gebang. Bantar Gebang dinilai sangat cocok untuk dijadiakan TPA karena lahannya yang cekung dapat dijadikan tempat pengumpul sampah dan lokasi yang jauh dengan permukiman penduduk. Areal ini semula merupakan bekas lahan galian tanah untuk kepentingan pembangunan beberapa perumahan di Jakarta, seperti Sunter, Podomoro, dan Kelapa Gading serta perbaikan jalan di Narogong.

Areal TPA Bantar Gebang mencakup 3 desa dari 8 desa yang ada di wilayah kecamatan Bantar Gebang, yaitu desa Ciketing, desa Cikiwul, dan desa Sumur Batu. TPA Bantar Gebang telah dilengkapi dengan pembangunan penyiapan lahan, perpipaan untuk pengumpulan air sampah, jalan permanent, tanggul jalan, saluran drainase, dan ventilasi.

1.5 Manfaat Penelitian

§ Memberikan informasi dan pengetahuan kepada pembaca tentang pemulung dan lingkungan hidup mereka

§ Memberikan gambaran mengenai sulitnya mencari sesuap nasi di Jakarta

§ Memberikan himbauan kepada pembaca untuk lebih berempati terhadap orang-orang yang kurang beruntung dari kita

§ Memberikan gambaran kepada pembaca bahwa pemulung juga menginkan hidup layak seperti kita

1.6 Metodologi Penelitian

Metode adalah kegiatan yang digunakan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Metode yang terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah adalah metode yang sistematis dan sesuai dengan kebutuhan masalahnya. Metode yang digunakan penulis dalam penulisan makalah ini adalah metode deskriptif. Deskriptif diartikan suatu sifat penyajian data yang mencirikan masalah yang akan dibahas. Metode deskriptif adalah metode untuk menguraikan dan menggambarkan dengan jelas permasalahan secara detail berdasarkan data yang terkumpul.

Dalam informasi mengenai pemulung dan lingkungan hdupnya, sebaiknya dalam pencarian data digunakan observasi langsung di lapangan. Lapangan yang dimaksudkan adalah tempat tinggal pemulung itu sendiri, dalam hal ini adalah Bantar Gebang yang terletak di kawasan Bekasi, Jawa Barat. Dengan melakukan observasi langsung di lapangan, kita dapat mengetahui secara langsung bagaimana kehidupan para pemulung dan bagaimana keseharian mereka sebagai pemulung.


BAB 2 DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Aspek Ekonomi dan Sosial

Krisis moneter tahun 1997 memberikan efek terhadap TPA Bantar Gebang. Sampah menjadi tumpuan sumber ekonomi alternatif bagi masyarakat urban. Tumbuhnya perumahan liar di sekitar TPA menimbulkan permasalahan yang perlu disikapi.

Masyarakat di sekitar TPA mengambil kesempatan memilah sampah organik dan anorganik. Plastik, botol bekas, kaleng, kaca merupakan bahan bekas yang dapat didaur ulang. Kontribusi pemulung dalam mendaur ulang sampah cukup besar, tetapi proses pencucian sampah plastik belum memperhatikan aspek kebersihan. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah lalat yang jumlahnya sangat banyak.

Pemilahan sampah anorganik membantu sistem sanitasi landfill (membuang dan menumpuk sampah ke suatu lokasi yang cekung, memadatkan sampah tersebut kemudian menutupnya dengan tanah) karena sampah organic telah terpisah, tetapi upaya pemilahan belum optimal sehingga masih ditemukan sampah organik dan anorganik masih tercampur. Plastik yang tidak terurai ini dapat menimbulkan masalah lingkungan.

Usaha pengumpulan sampah plastik, kaca, besi memberikan nilai positif bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar TPA Bantar Gebang karena limbah ini merupakan komoditi yang bernilai ekonomi.

2.2 Komunitas Sampah Bantar Gebang

Gurun sampah adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan TPA Bantar Gebang. Sejauh mata memandang aneka wana-warni terutama warna hitam dari sisa kaleng, kertas, plastik, mendominasi pemandangan. Asap mengepul disertai bau menyengat yang membuat perut terasa teraduk-aduk. Begitulah pengamatan langsung di TPA Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Sementara itu para pemulung yang berpakain kotor, tua, terkadang bertambal, dengan penutup kepala seadanya, kumuh adalah kesan yang tertangkap dari komunitas sampah Bantar Gebang. Suasana agak riuh terjadi manakala truk pengangkut sampah datang. Para pemulung dengan berjuta harapan mengejarnya. Mengerahkan daya upayanya untuk berlomba, berebut, mengais, tumpukan sampah satu persatu.

Uniknya, pemandangan ini terlihat sebatas pada ibu-ibu tua atau anak-anak saja. Tak terlihat remaja laki-laki ataupun kaum lelaki. Hal ini disebabkan karena kaum pria sudah mangkal di bandar-bandar sampah, dan merekalah yang menguliti serta menyortir terlebih dahulu. Sisanya, dibuang ke Bantar Gebang dan menjadi rebutan kaum wanita serta anak-anaknya. Tentu dengan penghasilan dan imbalan yang berbeda.

Saemi (40) adalah satu dari sekian banyak pemulung yang tinggal di pemukiman Bantar Gebang. Pemukiman tempat tinggal Saemi dan beberapa orang lainnya yang berupa rumah petak di salah satu bagian kecil di Bantar Gebang sangat jauh dari standar kebersihan. Tumpukan sampah plastik yang membentuk sebuah kolam besar menempati sebagian lahan di depan rumah petak mereka. Jalanan yang kami lewati sebagian besar merupakan tumpukan-tumpukan sampah yang berserakan. Bau busuk dari beranekaragam sampah sangat menusuk hidung disertai dengan banyaknya lalat berterbangan di sekeliling rumah petak.

Saemi adalah seorang urban asal Kerawang yang memutuskan untuk pindah ke Jakarta sejak bertahun-tahun lalu karena di desa asalnya ia tidak mendapatkan pekerjaan. Menurutnya, di sana juga sangat sulit mendapatkan air karena bencana kekeringan. Demi mencari sesuap nasi untuk dirinya sendiri saja, Saemi harus berangkat dari pukul 5 pagi dari pemukimannya sekarang di Bantar Gebang menuju kawasan Cangkrang di Sunter untuk memunguti sampah. Saemi mengaku sudah 4 kali lebaran ia tidak pulang kampung karena tidak ada biaya. Ternyata hidup di Kota Jakarta tidak semudah yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Seperti katanya, “Penghasilan dari memungut sampah harus saya setor ke bos, terus saya dapat duit buat makan. Itupun masih harus mengutang.”

Berdasarkan survey, MCK penduduk masih jauh dari criteria sehat karena jarak sumur sebagai sumber air dan kakus cukup dekat. Air yang mengalir juga sangat sedikit dan rasanya asin. Keadaan ini memperparah kondisi lingkungan TPA yang ditandai dengan banyaknya keluhan penyakit yang dialami penduduk.

Kemiskinan dan kurangnya pengetahuan, membuat komunitas ini tidak sempat memperhatikan kesehatan. Makanan bersih, rumah layak, atau pakaian lumayan, semua bagai angan-angan yang sulit jadi kenyataan.

2.3 Maut Mengintip Di balik Gunung Sampah

Kerugian yang ditimbulkan akibat sampah sangat besar. Misalnya kerugian ekonomi, lingkungan, estetika, dan yang terpenting kerugian di bidang kesehatan. Besar dana yang dikeluarkan oleh Pemda DKI untuk mengatasi masalah sampah, mulai dari sarana transportasi, gaji karyawan, sampai membayar sewa pembuangan akhir di Bantar Gebang.

Dari segi lingkungan, Bantar Gebang sudah sarat pencemaran. Baik itu pencemaran udara, tanah, dan air. Pencemaran lingkungan inilah yang sebenarnya berkait erat dengan masalah kesehatan. Hal lain yang menjadi taruhan nyawa bagi pekerjaan memulung ini yaitu longsornya sampah-sampah. Kejadian ini banyak terjadi di kawasan Bantar Gebang sehingga menyebabkan banyak memakan korban atas longsornya sampah tersebut disaat pemulung ini sedang memungut sampah seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu.




BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pemulung tak dapat kita hindarkan dalam kehidupan sehari-hari di kota Jakarta. Banyak pemulung yang mengais rejeki dari tumpukan sampah di Jakarta sebagian besar bukan merupakan penduduk asli kota Jakarta. Mereka adalah para urban yang nekad mengadu nasib di Jakarta demi mencari penghidupan yang lebih baik daripada di kampung halamannya.

Keadaan tersebut harus mereka hadapi mengingat semakin banyaknya kebutuhan diikuti dengan meningkatnya harga barang-barang pemuas kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi kebutuhan fisik mereka, mereka harus melakukan segala hal, termasuk menjadi pemulung.

Kawasan Bantar Gebang yang bertahun-tahun menjadi TPA (Tempat Pemusnahan Akhir) bagi sampah-sampah di Jakarta adalah tempat yang sangat tidak layak untuk dijadikan tempat pemukiman bagi para urban yang mengadu nasib di Jakarta dengan menjadi pemulung. Tentu saja tempat tersebut sangat tidak memenuhi criteria standar untuk kebersihan dan kesehatan. Namun keadaan ini dimanfaatkan oleh para pemulung untuk mengais rejeki. Pemulung yang bermukim di TPA Bantar Gebang tersebut memilah sampah organik dan anorganik. Kontribusi mereka dalam mendaur ulang sampah cukup besar, tetapi proses pencucian sampah plastik belum memperhatikan aspek kebersihan.

Walaupun kehidupan di Jakarta tak jauh lebih baik dari kehidupan di kampung halaman mereka, namun setiap habis lebaran semakin banyak saja para urban yang berdatangan ke Jakarta dari pada orang yang pulang kampung. Bagi mereka, setidaknya masih banyak hal di Jakarta yang dapat dijadikan uang. Bahkan sampah di Jakarta masih dapat dijadikan komoditi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan begitu mereka dapat terus bertahan hidup di Kota Jakarta dan enggan pulang kampung.

3.2 Saran

Semakin banyaknya masyarakat Jakarta yang hidup di bawah garis kemiskinan, tentu tingkat kejahatan juga akan semakin meningkat. Dengan begitu diharapkan kerjasama dari bebagai pihak untuk dapat mengatasi hal tersebut. Tak hanya Pemerintah, peran serta pihak swasta juga diharapkan untuk mentertibkan kehidupan di kota Jakarta.

Untuk mengatasi masalah pemulung ini memang sangat sulit dilakukan mengingat memang sudah tidak ada tempat lagi di Jakarta untuk menampung para pemulung di tempat lain selain di Bantar Gebang. Para urban yang terus berdatangan membuat Kota Jakarta semakin padat penduduk. Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah atau pihak swasta adalah dengan lebih memperhatikan sanitasi dan kesehatan di pemukiman pemulung, dalam hal ini adalah Bantar Gebang. Hal tersebut dapat dimulai dengan menyediakan saluran air bersih dan memperbanyak MCK untuk mereka.

Dengan memberikan perhatian terhadap kebersihan dan kesehatan bagi para pemulung di lingkungan sekitar mereka, niscaya tingkat kematian bagi para pemulung dapat ditekan dan dapat membantu memperbaiki penghidupan mereka.

2 Comments:

Blogger Toke-Techno said...

Mantap sis artikelnya..keep moving forward sis

19 April 2011 at 20:48  
Blogger Bayu Sutrisno said...

makasih ya artikelnya, saya kutip untuk tugas :D

14 October 2011 at 20:21  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home