Friday 13 March 2009

HUKUM PERKAWINAN

PEMBAHASAN

1. Hukum Perkawinan Menurut Hukum Perdata Eropa (Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS), pasal 26 dan seterusnya)

Hukum perkawinan adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya bagi kedua belah pihak, yaitu: pasangan suami istri. Kebanyakan isi peraturan tersebut adalah mengenai pergaulan hidup suami istri menurut norma-norma agama, kesusilaan, atau kesopanan.

Hukum perkawinan yang diatur dalam KUHS berdasarkan agama Kristen yang berasaskan monogamy. Syarat-syarat pokok yang harus dipenuhi adalah:

1. pihak-pihak calon mempelai dalam keadaan tidak kawin

2. laki-laki berumur 18 tahun, perempuan 15 tahun

3. dilakukan di muka pegawai catatan sipil (Burgerlijke Stand)

4. tidak ada pertalian darah yang terlarang

5. dengan kemauan yang bebas, dan sebagainya

A. Hak dan Kewajiban Suami Istri

    1. kekuasaan marital dari suami, yaitu bahwa suami menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya
    2. wajib nafkah (kewajiban alimentasi), berarti suami wajib memelihara istrinya; orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum cukup umur; anak-anak yang telah dewasa wajib memelihara orangtuanya, kakek neneknya, atau keluarga sedarah menurut garis lurus, yang dalam keadaan miskin; menantu wajib memelihara mertua dan sebaliknya.
    3. istri mengikuti kewarganegaraan suaminya
    4. istri mengikuti tempat tinggl suaminya
    5. istri menjadi tidak cakap bertindak. Di dalam segala perbuatan hukum ia memerlukan bantuan dari suaminya, kecuali: perbuatan sehari-harinya unutk keperluan rumah tangga, mengadakan perjanjian kerja sebagi majikan dalam keperluan rumah tangga, melakukan pekerjaan bebas, membuat wasiat, membuat perjanjian kerja sebagai buruh, memperoleh hak milik atas sesuatu benda, manyimpan dan mengambil uang di Bank Tabungan Pos, menggugat perceraian, dsb.

Suami berhak mengurus dan menguasai harta perkawinan gabungan jika sebelumnya tidak diadakan perjanjian harta perkawinan pisah. Istri mengurus harta kekayaan sendiri jika sebelumnya diadakan perjanjian harta perkawinan pisah.

B. Hubungan Hukum dalam Perkawinan

Ikatan perkawinan juga penting artinya bagi keturunan dan hubungan kekeluargaan. Oleh hukum yang berlaku sekarang ditetapkan bahwa:

1. anak-anak yang belum dewasa (belum 21 tahun dan belum kawin)

2. orang-orang yang berada di bawah pengampunan

3. wanita ygn bersuami, dianggap tidak cakap bertindak di dalam lau lintas hukum

Apabila seseorang yang belum dewasa kawin, dan perkawinannya itu kemudian dibubarkan sebelum ia berumur genap 21 tahun, makan orang itu tetap dianggap dewasa dan ia tetap dianggap cakap bertindak dalam lalu lintas hukum.

Seseorang yang tidak cakap bertindak, akan tetapi oleh hukum dicabut haknya untuk melakukan perbuatan tertentu, mka ia disebut tidak berwenang bertindak, misalnya seorang juru lelang tidak berwenang membeli barang-barang yang ia lelangkan.

Peraturan-peraturan tentang kekuasaan orang tua, perwalian, pengampunan, hukum perkawinan, hukum harta perkawinan, dan hukum perceraian semua menjdi inti dalam hubungan kekeluargaan, dengan demikian peraturan-peraturan tersebut digolongkan menjadi satu yang disebut Hukum Keluarga.

  1. Putusnya Perkawinan
    1. Kematian

Menurut agama Kristen, hanya kematianlah yang dapat memutuskan perkawinan

    1. Kepergian suami atau istri selama sepuluh tahun

Dengan begitu, salah satu pihak dapat melangsungkan perkawinan yang baru dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh hukum perkawinan. Namun hal ini belum dapat disahkan apabila belum diadakan panggilan terlebih dahulu, melalui surat kabar, majalah, dsb.

Bepergian selama sepuluh tahun itu dapat diperpendek menjadi satu tahun apabila:

a. kepergian dengan menumpang kapal, dan kemudian kapal tersebut hilang, hancur, atau terbakar.

b. Kepergian tersebut ke tempat yang berbahaya, misalnya: malapetaka, gunung meletus, perang, sehingga diyakinkan bahwa yang pergi itu telah musnah.

    1. Akibat perpisahan meja makan dan tempat tidur

Setelah hal ini dilakukan selama 5 tahun, suami atau istri dengan perstujuan maupun dengan alasan-alasan dapat menuntut di muka hakim untuk diputuskn perkawinannya.

    1. Perceraian

Perceraian disebabkan oleh:

a. zina

b. meninggalkan tempat tinggal dengan sengaja

c. hukuman selama lima tahun

d. penganiayaan yang menyebabkan luka berat

Perceraian baru sah ketika diumumkan oleh pengadilan. Sedangkan perceraian karena persetujuan bersama antar suami istri tidak diperbolehkan.

2. Hukum Perkawinan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

A. Sistematik dan Isi pokok Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974

Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentan perkawinan disahkan Presiden Tanggal 2 Januari 1974 dan diundangkan dalam lembaran Negara Tahun 1974 no. 1 dan Penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2019.

Sistematika UUP adalah sbb:

1. Konsiderans, terdiri dari:

a. Dasar Pertimbangan (1 alinea)

b. Dasar Hukum:

- pasal-pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), pasal 27 ayat (1), dan pasal 29 UUD 1945

- Ketetapan MPR No. iv/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara

2. Dictum yang berbunyi: memutuskan; menetapkan Undang-Undang tantang Perkawinan.

3. Batang Tubuh atau Isi UUP, terdiri dari:

a. 14 Bab

1) Bab I: Dasar perkawinan

2) Bab II: Syarat-syarat Perkawinan

3) Bab III: Pencegahan Perkawinan

4) Bab IV: Batalnya Perkawinan

5) Bab V: Perjanjian Perkawinan

6) Bab VI: Hak dan Kewajiban Perkawinan

7) Bab VII: Harta Benda dalam Perkawinan

8) Bab VIII: Putusnya Perkawinan serta akibatnya

9) Bab IX: Kedudukan anak

10) Bab X: Hak dan Kewajiban antara Orang tua dan Anak

11) Bab XI: Perkawinan

12) Bab XII: Ketentuan-Ketentuan Lain

13) Bab XIII:Ketentuan Peralihan

14) Bab XIV:Ketentuan Penutup

b. 67 Pasal

4. Penjelasan Undang-Undang Perkawinan, yang terbagi atas :

a. Penjelasan umum yang terdiri dari poko penjelasan

b. Penjelasan pasal demi pasal

B. Konsiderans UU No. 1 Tahun 1974

1. Dasar Pertimbangan

Sesuai dengan Falsafah Pancasila, serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-Undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara Indonesia.

2. Dasar Hukum Penyusunan Undang-Undang Perkawinan

a. UU 1945

1) Pasal 5 ayat 1: Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan DPR

2) Pasal 20 ayat 1: Tiap-tiap Undang-undang menghendaki persetujuan DPR

3) Pasal 27 ayat 1: Segala warganegara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hokum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

4) Pasal 29 ayat 1: Negara berdasar atas Ketuhanan YME

Pasal 29 ayat 2: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

b. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973

1) Landasan

GBHN disusun berdasarkan landasan idiil Pancasila dan Konstitusional UUD 1945

2) Modal Dasar

Kepercayaan adan keyakinan Bangsa atas kebenaran Falsafah Pancasila merupakan modal sikap mental yang dapat membawa bangsa menuju cita-citanya.

3) Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan YME

Atas dasar Kepercayaan Bangsa Indonesia terhadap Tuhan YME, maka perikehidupan beragama dan perikehidupan berkepercayaan terhadap Tuhan YME didasarkan atas kebebasan menghayati dan mengamalkan Ketuhanan YME sesuai dengan Falsafah Pancasila

4) Pembinaan Keluarga Sejahtera

Pembinaan Keluarga yang sejahtera adalah sarana bagi pembinaan Generasi Muda. Untuk pembinaan keluarga yang sedemikian itu maka Hak-Hak Wanita dijamin serta kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat dilindungi.

5) Hukum

Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan Hukum Nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi, serta unifikasi Hukum dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.

C. Pengertian Umum Tentang Perkawinan Menurut UU NO. 1 Tahun 1974

Menurut Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU No. 1 Tahun 1974 suatu perkawinan dianggap sah bila dilakukan menurut agama dan kepercayaanya serta dicatatkan. Dalam hal pencatatan perkawinan, bagi yang beragama non-Islam dicatatkan di kantor catatan sipil dan bagi yang Bergama Islam dicatatkan di KUA. Hal ini diatur di dalam Pasal 2 PP 9 Tahun 1975. Fungsi dari pencatatan ini adalah sebagai alat bukti yang sah.

1. Mutlak adanya UU Perkawinan

Bagi Indonesia adalah mutlak adanya UU Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung Prinsip-prinsip dan memberikan landasan hokum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi kita.

2. Aneka Ragam Hukum Perkawinan di Indonesia

Di Negara ini berlaku berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut:

a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama islam berlaku hukum agama yang direplisir menjadi hukum adat

b. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat

c. Bagi orang Indonesia yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonantie Christen Indonesia

d. Bagi orang ketururunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan kitab UU hukum perdata

3. UU Perkawinan mewujukan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945

Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan UUD 1945, maka UU ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung kenyataan yang hidup dewasa ini.

4. Asas-asas Perkawinan

Asas-asas yang tercantum dalam UU ini adalah sebagai berikut:

a. Tujuan Perkawinan. Tujuannya adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

b. Sahnya Perkawinan. Dalam UU ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agam dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.

c. Asas monogami. Seorang suami hanya boleh memperisiteri satu orang untuk seumur hidup. Apabila seseorang ingin beristeri lebih dari satu maka harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukn pengadilan.

d. Mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan terjadinya perceraian harus ada alas an-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan siding pengadilan.

e. Hak dan kedudukan isteri. Kedudukan isteri harus seimbang dengan suami dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.

D. Syarat-syarat Perkawinan (pasal 6 s/d 12)

1. Syarat-syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan

Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, harus dipenuhi syarat-syarat yang ditegaskan dalam Pasal 6 UUP yaitu:

(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Ditetapkannya syarat “persetujuan kedua mempelai” oleh karena perkawinan mempunya maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesusai dengan ci-cita dari kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut tanpa ada paksaan apapun.

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mendapat umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.

(3) Dalam hal salah seorang orang tua telah meninggal atau tidak mampu menyatakan keendakanya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh bagi orangtua yang masih hidup atau masih mampu menyatakan kehendaknya.

(4) Dalam hal ke dua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu, maka izin diperoleh dari wali yang ditunjuk orang tua calon mempelai.

(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang disebutkan dalam ayat (2), (3) (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak dapt menyampaikan pendapatnya, maka pengadilan daerah hukum tempat mereka tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dulu mendengar orang-orang yang disebutkan dalam ayat (2), (3) (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya tidak menentukan lain.

Selanjutnya dalam pasal 7 UUP digaskan hal-hal berikut:

(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Ketentuan ini diadakan ialah utuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan, dan karena itu dipandang perlu diterangkan batas umur untuk perkawinan dalam UUP.

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan.

(3) Ketentuan menganai keadaan salah seorang orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) UU ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut aat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6)

2. Larangan Perkawinan

Menurut pasal 8 UUP, perkawiann dilawang antara 2 orang yang:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapa tiri.

d. Berhubungan susan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, bibi/paman susuan;

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;

f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya dilarang kawin.

Menurut pasal 9 UUP seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali jika:

(1) mendapat izin berdasarkan pengadilan

(2) dengan alasan bahwa istri:

a. tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri

b. menjadi cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. tidak dapat melahirkan keturunan.

Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi; sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (pasal 10)

Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya atau perkawinan harus benar-benar dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami istri saling menghargai satu sama lain.

Adapun seorang wanita yang putus perkawinnya berlaku jangka waktu tunggu (pasal 11 ayat 1), sedangkan tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut masih akan diatur dalam peraturan permerintah lebih lanjut (pasal 11 ayat 2).

Demikian pula tata cara perlaksanaan perkawinan, menurut pasal 12 UUP diatur dalam peraturan perundangan sendiri.

Ketentuan pasal 12 UUP ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam UU No.32 tahun 1954 tentang Penetapan UU tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh luar Jawa dan Madura.

Tambahan:

Perbedaan antara Pencegahan dan Pembatalan perkawinan adalah:

· Pencegahan perkawinan dilakukan sebelum perkawinan berlangsung

· Sedangkan pembatalan perkawinan dilakukan setelah perkawinan berlangsung namun dibatalkan

Persamaan antara Pencegahan dan Pembatalan perkawinan adalah:

· Keduanya sama-sama harus diajukan dan butuh putusan dari Pengadilan

· Yang dapat mengajukan Pencegahan atau Pembatalan Perkawinan sama yaitu dari pihak keluarga

Perjanjian Kawin dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung dan berlaku sejak perkawinan berlangsung dan dapat diubah dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan. Perjanjian kawin yang dibuat harus dilaporkan ke pegawai pencatat untuk dicatatkan di dalam akta nikah. Perjanjian kawin boleh apa saja asalkan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. (Pasal 1320 KUHPerdata).

Harta benda dalam perkawinan apabila tidak ada perjanjian kawin, dalam UU No. 1 Tahun 1974 maka:

· Harta bawaan atau harta asal dikuasai masing-masing

· Warisan dan hadiah (walaupun didapat setelah menikah tetap dikuasai masing-masing)

· Sedangkan harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung merupakan harta bersama

Sedangkan harta benda dalam perkawinan apabila tidak ada perjanjian kawin, dalam KUHPerdata Pasal 119 terjadi persatuan harta bersama (hanya ada harta bersama).

Pada dasarnya orang tua wajib mendidik dan melindungi anaknya. Dalam UU Perkawinan bila orang tua bercerai kekuasaan terhadap masih tetap ada tapi dalam KUHPerdata bila orang tua bercerai kekuasaannya digantikan wali. Orang tua tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak bila kekuasaanya dicabut dan atau orang tua tersebut ditaruh di bawah pengampuan. Kekuasaan orang tua bisa dicabut bila orang tua tersebut memberi contoh yang buruk kepada anak-anaknya seperti: maen judi, mabuk-mabukan dll.

Dalam hal perceraian harus ada alasan yang jelas contohnya berzinah dll (yang diatur dalam penjelasan Pasal 39). Di dalam Pasal 39 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 percaeraian harus diajukan di pengadilan. Perceraian diajukan ke pengadilan negeri (bagi yang menikah di catatan sipil) atau ke pengadilan agama (bagi yang menikah di KUA).

Putusan perceraian yang diputus oleh pengadilan dan sudah berkekuatan hukum tetap dikirim di kantor pencatatan (KUA atau catatan sipil). Putusan berkekuatan hokum tetap bila tidak bisa berubah lagi misalnya lewat batas waktu banding (14 hari).


Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Contoh Kasus:

Seseorang wanita menikah secara agama islam di KUA pada tahun 1998. Semula kehidupan keluarganya bahagia. Kehadiran 2 orang anak semakin menambah kebahagiaan. Sayangnya, kebahagian itu tidak berlangsung lama. Sejak taaahun 2006 wanita tersebut sering bertengkar dengan suaminya. Penyebabnya adalah suaminya ketahuan berselingkuh. Malahan kabarnya si suami tersebut telah menikah sirri dan dikaruniai 1 orang anak. Sejak masalah itu muncul, suaminya menjadi mudah marah dan sering memukul istrinya. Kondisi tersebut lantas membuat wanita ini ketakutan dan sangat tertekan. Oleh karena itu dengan membawa anak-anaknya, dia pulang ke rumah orang tuanya. Si Wanita tersebut telah memutuskan untuk berpisah dengan suaminya.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home