Tuesday 7 April 2009

KETIKA MEMBATIK JADI MATA PELAJARAN DI SMP

KETIKA MEMBATIK JADI MATA PELAJARAN DI SMP

Oleh: Lidwina Marcella

Asap dan bau malam cair memenuhi seluruh isi ruangan yang diramaikan oleh anak-anak yang sibuk melukis dengan canting di atas selebar kain mori, sementara seorang guru berkeliling memperhatikan hasil karya para pembatik amatiran itu.

Itu bukan merupakan gambaran di salah satu tempat belajar membatik di galeri-galeri Batik yang sedang menjamur belakangan ini, melainkan gambaran suasana di ruang membatik SMP Tarakanita 4, Rawamangun, Jakarta Timur ketika membatik merupakan salah satu mata pelajaran di SMP swasta ini.

Di sekolah swasta yang telah cukup lama berdiri ini, membatik menjadi salah satu mata pelajaran yang harus diikuti oleh seluruh siswa dari kelas 1 hingga kelas 3. salah seorang siswi sempat mengeluh kepada gurunya, “Bu, emangnya membatik buat apa sih? Toh nanti saya nggak bakal gunain kalo saya udah nikah. Emangnya nanti suami saya mau saya bikinin batik, apa? Mendingan pelajarannya tataboga aja, Bu (seperti angkatan yang sudah-sudah). Kan nanti saya bisa masakin suami saya.”

Si Ibu Guru yang bernama Ibu Purwani kontan tersenyum mendengar keluhan siswi tersebut, maka perempuan paruh baya itu pun menjawab, “Batik kan akar budaya Indonesia, makanya harus tetap dilestarikan. Kalau bukan dari kalian, mau dari siapa lagi?”

Tentunya, mendengar jawaban itu, sang siswi yang sebagai anak kelas 1 SMP hanya bisa mencibir dalam hati, ‘Dasar, Ibu yang sok nasionalisme. Nggak gaul.”

Kekurangminatan siswa terhadap pelajaran membatik mungkin disebabkan karena bau malam cairnya yang sangat menyengat ditambah dengan ruangan membatik yang otomatis berubah menjadi ruangan seperti habis kebakaran karena dipenuhi asap dari malam yang dicairkan menggunakan kompor minyak kecil. Tetapi, biar bagaimanapun tidak sukanya mereka terhadap pelajaran membatik, toh para siswa tetap harus mengikuti pelajaran itu untuk mendapatkan nilai.

Mereka belajar membatik seperti layaknya para pembatik professional walau tentu hasilnya jauh berbeda. Membatik dimulai dengan membuat pola menggunakan pensil di atas selembar kain mori yang terkenal dengan istilah molani. Kegiatan ini biasanya dilakukan di dalam kelas agar para siswa lebih nyaman. Kemudian mereka dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang duduk melingkar di sekeliling kompor minyak di ruangan membatik. Pola yang sudah jadi di atas kain itu harus mereka tutup dengan malam yang sudah cair dan kemudian mengoleskan paraffin (sejenis lilin berwarna putih yang digunakan untuk menutup bagian yang ingin tetap berwarna putih) dengan kuas dibagian-baian yang tidak ingin diberi warna. Setelah selesai, mereka melakukan proses pencelupan, yaitu memasukkan kain tadi ke dalam cairan yang berisi pewarna untuk batik. Kemudian barulah tahap nglorot, salah satu istilah dalam membatik ketika kita merebus kain yang sudah diwarna, gunanya untuk menghilangkan sisa malam dan paraffin. Terakhir adalah mencuci kain lalu menjemurnya di ruangan yang tidak terkena cahaya matahari.

Tak melulu soal praktek, Ibu Purwani juga mengajarkan sejarah batik, macam-macam jenis batik, istilah-istilah dalam membatik, sampai pola-pola batik yang berbeda-beda di setiap daerah. SMP Tarakanita 4 juga mengadakan karya wisata ke Galeri Batik Danar Hadi, Solo untuk mengajak siswa terjun langsung dalam proses pembuatan batik tulis dan batik printing (cap) oleh para pembatik profesional.

Mengikuti pelajaran membatik selama 3 tahun memiliki kesan tersendiri bagi siswa siswi di SMP Tarakanita 4. Banyak pengalaman terjadi di dalam ruangan berukuran sekitar 8x6 meter di SMP tercinta itu. Ternyata membatik menyenangkan, karena mereka bisa menuangkan kreativitas kita ke atas selembar kain dan walaupun hasilnya kurang bagus, kain hasil karya mereka dapat digunakan sebagai alat keperluan sehari-hari, seperti sebagai penutup televisi dan sebagainya.

Namun, layaknya anak-anak SMP tentu saja terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan karena ulah mereka sendiri. Salah satu siswi kelas 2 SMP sempat tersiram malam panas di wajahnya dan menyebabkan bekas luka putih yang tak bisa hilang sampai ia lulus. Pengalaman lainnya yang mereka alami adalah terbakarnya ruang membatik gara-gara salah satu kompor minyak meledak. Yah, pelajaran membatik juga mengajarkan mereka bagaimana menjadi pemadam api yang sigap, karena tak jarang kompor-kompor minyak itu meledak.

Mereka beruntung sempat mendapatkan pelajaran membatik di sekolah, karena kalau tidak, orang tua mereka pasti tak mau repot-repot mengajak mereka ke galeri hanya untuk mencoba membatik dengan canting dan malam sungguhan. Paling-paling mereka hanya tahu kain batik, namun tak tahu dan tidak pernah mengalami bagaimana proses membuatnya.

Ternyata bagi Pande Luh Priti Kathina, mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Design (FSRD) Institut Teknologi Bandung yang dulu sempat duduk di bangku SMP Tarakanita 4 mengungkapkan, “Pelajaran membatik sungguh menyenangkan. Untung dulu ada pelajaran membatik di SMP, soalnya sekarang berguna banget di perkuliahan. Sekarang saya dapat mata kuliah batik. Kami sering mendapat tugas untuk membuat pola-pola batik dan sedikit banyak saya masih ingat.”

Ketika membatik menjadi pelajaran sekolah di SMP Tarakanita 4, mungkin bagi siswa hanya merupakan bagian dari kurikulum sekolah, namun kini mereka sendiri merasakan manfaatnya, yaitu mereka tidak ‘buta’ terhadap budaya saya sendiri dan akhirnya bisa mencintainya.

Benarlah kata Ibu Purwani, “Kalau bukan dari kalian, siapa lagi yang akan melestarikan budaya bangsa?” Dan kalau boleh ditambahkan, “Masa harus bangsa lain? Dan siapa takut kalau harus membuatkan batik untuk suami saya suatu saat nanti?” (BLM)

1 Comments:

Blogger Daantje said...

Beliau, Ibu Poerwani Tjondrowatie? Kalau benar beliau wali kelas 1 SMP Tarakanita 3 Patal Senayan. Beliau ahlinya dalam hal melukis dan membatik. Mohon info saat ini beliau tinggal dimana?

28 October 2015 at 22:54  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home