Jakarta, 26/10 - Sejak awal 2008, batik kembali menjadi tren. Busana kain batik tak hanya dipakai untuk acara-acara formal saja, namun juga dapat digunakan untuk acara santai. Untuk itulah, batik kini mulai menjelajah dunia internasional.
“Ekspor batik khusus di daerah Jawa Tengah tahun 2007 sebesar US$ 29,3 juta atau naik 20,24 persen dibanding tahun 2006 sebesar US$ 24,4 juta. Nilai tersebut merupakan 36,46 persen dari total ekspor batik Indonesia tahun 2007. Sementara tujuan umum ekspor batik adalah negara AS yang menyerap 64,59 persen dari seluruh ekspor batik dunia. Urutan selanjutnya Jerman 5,39 persen, Inggris 5,20 persen, Belgia 2,75 persen dan Prancis 2,27 persen,” menurut salah seorang pejabat di Departemen Perdagangan (Depdag), Sabtu di Jakarta.
Senada dengan Depdag, Badan Pengembang Ekspor Nasional juga mencatat perkembangan batik di Indonesia meningkat, sehingga tahun 2006 sudah mencapai 48,287 unit dengan menyerap tenaga kerja 792,285 orang dan nilai produksinya mencapai Rp 2,9 triliun. Unit batik itu tersebar di 17 provinsi di Indonesia antara lain Jawa Tengah yang pusatnya di Pekalongan.
Tidak hanya dalam bentuk helaian, batik juga dibuat menjadi pakaian dengan mode terbaru dan mengikuti tren masa kini sehingga anak muda kini sudah berani mengenakan batik sebagai pakaian sehari-hari. "Sekarang masyarakat sudah mencintai kebudayaan dan hasil seni sendiri. Kondisi ini sekaligus menjadi promosi bagi pengrajin batik untuk go internasional," papar Guruh Soekarno Putra.
Ketua I Himpunan Ratna Busana Noes Moelyanto Djojomartono pun memiliki pendapat serupa. Perhimpunan ini bertujuan melestarikan batik dan kain nasional Indonesia. Noes mengatakan, wilayah Indonesia yang luas sesungguhnya menyimpan ragam kekayaan budaya kain nasional yang besar. Jadi jangan sampai batik diakui oleh Negara lain ebagai kekayaan budaya bangsanya. (BLM)
Surabaya, 17/10 - "Pameran dan lomba tentang batik yang digelar dalam rangka memeriahkan peringatan Hari Sumpah Pemuda itu bertujuan agar generasi muda makin mengenal dan menghargai batik sebagai warisan budaya bangsa," kata Kepala Perpustakaan UKP Aditya Nugraha di Surabaya, Kamis.
Sebanyak 50-an batik klasik dan kontemporer dipamerkan dalam acara "enCHANTING BATIK" di Ruang Pamer Perpustakaan Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya pada tanggal 17 Oktober - 21 November. Menurut Kepala Perputakaan UKP Aditya Nugraha, batik identik dengan bangsa dan budaya Indonesia. Seperti yang kita ketahui, sudah bertahun-tahun batik menjadi ikon kecantikan fashion Indonesia. "Batik juga dinamis, tak lekang oleh zaman. Di abad millenium seperti saat ini pun, batik kembali mewarnai lifesyle dan trend mode Indonesia. Tidak saja para orang tua, muda-mudi pun sekarang gandrung dengan batik," katanya.
Untuk menelusuri batik dari dulu sampai saat ini, katanya, pameran dan lomba batik juga diwarnai sarasehan yang digelar Desain Interior bersama dengan Perpustakaan UKPetra dan Museum Batik Dahar Hadi-Solo pada 17 Oktober. "Acara sarasehan itu mengawali pameran batik yang dibuka Rektor UKP Ir Paulus Nugraha M.Sc M.Eng di Perpustakaan UKP pada Jumat (17/10) pukul 10.30 WIB," katanya.
Apalagi, katanya, pameran juga akan menampilkan karya-karya batik yang dihasilkan masyarakat stren kali binaan LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) dan Jurusan Desain Interior UKP.
Acara itu mengajak anak-anak muda sebagai "next generation" untuk menghargai aset bangsa melalui lomba menggambar batik yang akan digelar pada 14 November mendatang. Juga diharapkan, batik tidak sekedar menjadi trend sesaat di kalangan anak muda, tetapi juga dapat menempati posisi yang khusus dalam dunia trend anak muda Indonesia. (BLM)
Jakarta, 23/10 - Apa mungkin gara-gara Malaysia pernah mengklaim bahwa batik adalah hasil karya cipta asli dari negaranya? Para perancang busana Indonesia kini semakin Indonesia semakin lihai untuk memasukkan unsur tradisional batik ini menjadi sebuah trend fashion yang modern, fashionable.
“Pikiran pertama yang terlintas ketika kita mengenakan batik adalah tingginya rasa naionalisme karena mengenakan produk dalam negeri. Tetapi bagaimana kita bisa terlihat bangga jika kita tidak menyukai diri kita ketika memakainya?” ungkap Deckie, salah satu desainer Indonesia, Rabu di Jakarta.
Menurutnya, beberapa waktu belakangan ini, masyarakat sering melihat batik menjadi trend yang sedang menjamur dari kalangan para kaum muda hingga orang tua. Mulai dari acara yang super resmi dan formal, hingga acara jalan-jalan santai bersama teman.
“Pada awal permunculannya, memang batik lebih banyak ditujukan bagi para orang yang sudah cukup berumur karena modelnya yang agak kuno, ditambah dengan warna-warna dan coraknya yang gelap, sehingga hanya dapat dikenakan pada acara-acara resmi saja,” kata Anne Avantie, Rabu di Galerinya di Jakarta.
“Belakangan, para desainer mulai melirik batik sebagai salah satu trend yang dapat diangkat untuk kalangan muda yang memiliki sifat dinamis. Dan sekarang, mulai tampak wajah-wajah bangga di kalangan anak muda ketika mengenakan pakaian tradisonal Indonesia dengan model dan desain yang cantik itu,” lanjutnya. (BLM)
Asap dan bau malam cair memenuhi seluruh isi ruangan yang diramaikan oleh anak-anak yang sibuk melukis dengan canting di atas selebar kain mori, sementara seorang guru berkeliling memperhatikan hasil karya para pembatik amatiran itu.
Itu bukan merupakan gambaran di salah satu tempat belajar membatik di galeri-galeri Batik yang sedang menjamur belakangan ini, melainkan gambaran suasana di ruang membatik SMP Tarakanita 4, Rawamangun, Jakarta Timur ketika membatik merupakan salah satu mata pelajaran di SMP swasta ini.
Di sekolah swasta yang telah cukup lama berdiri ini, membatik menjadi salah satu mata pelajaran yang harus diikuti oleh seluruh siswa dari kelas 1 hingga kelas 3. salah seorang siswi sempat mengeluh kepada gurunya, “Bu, emangnya membatik buat apa sih? Toh nanti saya nggak bakal gunain kalo saya udah nikah. Emangnya nanti suami saya mau saya bikinin batik, apa? Mendingan pelajarannya tataboga aja, Bu (seperti angkatan yang sudah-sudah). Kan nanti saya bisa masakin suami saya.”
Si Ibu Guru yang bernama Ibu Purwani kontan tersenyum mendengar keluhan siswi tersebut, maka perempuan paruh baya itu pun menjawab, “Batik kan akar budaya Indonesia, makanya harus tetap dilestarikan. Kalau bukan dari kalian, mau dari siapa lagi?”
Tentunya, mendengar jawaban itu, sang siswi yang sebagai anak kelas 1 SMP hanya bisa mencibir dalam hati, ‘Dasar, Ibu yang sok nasionalisme. Nggak gaul.”
Kekurangminatan siswa terhadap pelajaran membatik mungkin disebabkan karena bau malam cairnya yang sangat menyengat ditambah dengan ruangan membatik yang otomatis berubah menjadi ruangan seperti habis kebakaran karena dipenuhi asap dari malam yang dicairkan menggunakan kompor minyak kecil. Tetapi, biar bagaimanapun tidak sukanya mereka terhadap pelajaran membatik, toh para siswa tetap harus mengikuti pelajaran itu untuk mendapatkan nilai.
Mereka belajar membatik seperti layaknya para pembatik professional walau tentu hasilnya jauh berbeda. Membatik dimulai dengan membuat pola menggunakan pensil di atas selembar kain mori yang terkenal dengan istilah molani. Kegiatan ini biasanya dilakukan di dalam kelas agar para siswa lebih nyaman. Kemudian mereka dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang duduk melingkar di sekeliling kompor minyak di ruangan membatik. Pola yang sudah jadi di atas kain itu harus mereka tutup dengan malam yang sudah cair dan kemudian mengoleskan paraffin (sejenis lilin berwarna putih yang digunakan untuk menutup bagian yang ingin tetap berwarna putih) dengan kuas dibagian-baian yang tidak ingin diberi warna. Setelah selesai, mereka melakukan proses pencelupan, yaitu memasukkan kain tadi ke dalam cairan yang berisi pewarna untuk batik. Kemudian barulah tahap nglorot, salah satu istilah dalam membatik ketika kita merebus kain yang sudah diwarna, gunanya untuk menghilangkan sisa malam dan paraffin. Terakhir adalah mencuci kain lalu menjemurnya di ruangan yang tidak terkena cahaya matahari.
Tak melulu soal praktek, Ibu Purwani juga mengajarkan sejarah batik, macam-macam jenis batik, istilah-istilah dalam membatik, sampai pola-pola batik yang berbeda-beda di setiap daerah. SMP Tarakanita 4 juga mengadakan karya wisata ke Galeri Batik Danar Hadi, Solo untuk mengajak siswa terjun langsung dalam proses pembuatan batik tulis dan batik printing (cap) oleh para pembatik profesional.
Mengikuti pelajaran membatik selama 3 tahun memiliki kesan tersendiri bagi siswa siswi di SMP Tarakanita 4. Banyak pengalaman terjadi di dalam ruangan berukuran sekitar 8x6 meter di SMP tercinta itu. Ternyata membatik menyenangkan, karena mereka bisa menuangkan kreativitas kita ke atas selembar kain dan walaupun hasilnya kurang bagus, kain hasil karya mereka dapat digunakan sebagai alat keperluan sehari-hari, seperti sebagai penutup televisi dan sebagainya.
Namun, layaknya anak-anak SMP tentu saja terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan karena ulah mereka sendiri. Salah satu siswi kelas 2 SMP sempat tersiram malam panas di wajahnya dan menyebabkan bekas luka putih yang tak bisa hilang sampai ia lulus. Pengalaman lainnya yang mereka alami adalah terbakarnya ruang membatik gara-gara salah satu kompor minyak meledak. Yah, pelajaran membatik juga mengajarkan mereka bagaimana menjadi pemadam api yang sigap, karena tak jarang kompor-kompor minyak itu meledak.
Mereka beruntung sempat mendapatkan pelajaran membatik di sekolah, karena kalau tidak, orang tua mereka pasti tak mau repot-repot mengajak mereka ke galeri hanya untuk mencoba membatik dengan canting dan malam sungguhan. Paling-paling mereka hanya tahu kain batik, namun tak tahu dan tidak pernah mengalami bagaimana proses membuatnya.
Ternyata bagi Pande Luh Priti Kathina, mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Design (FSRD) Institut Teknologi Bandung yang dulu sempat duduk di bangku SMP Tarakanita 4 mengungkapkan, “Pelajaran membatik sungguh menyenangkan. Untung dulu ada pelajaran membatik di SMP, soalnya sekarang berguna banget di perkuliahan. Sekarang saya dapat mata kuliah batik. Kami sering mendapat tugas untuk membuat pola-pola batik dan sedikit banyak saya masih ingat.”
Ketika membatik menjadi pelajaran sekolah di SMP Tarakanita 4, mungkin bagi siswa hanya merupakan bagian dari kurikulum sekolah, namun kini mereka sendiri merasakan manfaatnya, yaitu mereka tidak ‘buta’ terhadap budaya saya sendiri dan akhirnya bisa mencintainya.
Benarlah kata Ibu Purwani, “Kalau bukan dari kalian, siapa lagi yang akan melestarikan budaya bangsa?” Dan kalau boleh ditambahkan, “Masa harus bangsa lain? Dan siapa takut kalau harus membuatkan batik untuk suami saya suatu saat nanti?” (BLM)
2000-2003Tarakanita 4 Junior High School – Jakarta
2003-2006Marsudirini Senior High School – Bekasi
2006-presentLondon School of Public Relations – Jakarta, Mass Communications major
Experiences:
Treasurer class for Prom Night at MarsudiriniSenior High School.
Event Organizing for sweet seventeen birthday party at Yen Yen Restaurant, Kelapa Gading, Jakarta in October 2007.
Directed and edited VTR for TV shows in order to final test TV Production subject at 4th Semester in London School of Public Relations – Jakarta.
Director of CATS for Performance of Dramatic Literature subject at 4th Semester to celebrate London School of Public Relations – Jakarta’s 16th anniversary on the 4th Theatre Festival.
Script re-writer of CATS for Performance of Dramatic Literature subject at 4th Semester to celebrate London School of Public Relations – Jakata’s 16th anniversary on the 4th Theatre Festival.
Production Designer of CATS for Performance of Dramatic Literature subject at 4th Semester to celebrate London School of Public Relations – Jakata’s 16th anniversary on the 4th Theatre Festival.
Directed and edited for Fasih Berbahasa Inggris (FBI) English Course’ Company Profile
Sound designer for LSPR Teatro entitled ‘West Side Story’
Joining with LSPR Environment Month 2009 as a President of LSPR Climate Change Champions Club (LSPR 4C) and made a program named “Clean up and Mangroves Tree Planting” at Muara Angke on 18th February 2009
Joining with LSPR Environment Month 2009 as a President of LSPR Climate Change Champions Club (LSPR 4C) and made a program named “Go Green Concert” on 20th February 2009
Volunteer for WWF Indonesia to support Earth Hour Indonesia 2009
Coordinator for WWF Earth Hour Indonesia 2009 Long March in Car Free Day on 8 March 2009
President of Climate Change Champions Club in order to coordinate LSPR and Sudirman Park Apartment to do blackout in the event Earth Hour Indonesia 2009 on 28 March 2009 (20.30-21.30)
Assistant for Mr. Radel in LSPR Band Festival 2009
Program Committee for Mr. and Ms. LSPR 2009
President of Climate Change Champions Club in order to make a Waste Management Program for SudirmanPark.
Skills:
Computer Skill:
Internet Explorer
MS Word
MS Power Point
MS Excel
Movie Maker
Corel Draw
Adobe Photoshop
Adobe In-Design
Adobe Premier Pro
Communication Skill: presentation skill and debate skill
Willingness to learn: acquired new skills through employment
Teamwork: enjoy working in both team environments and independently
Creativity:
writing novels
writing short stories
making short movies
editing videos
editing photos
making any kinds of design with computer or handmade
Interests:
Television:
watching intelligent serial TVs and DVDs
talk shows
reality shows
news
infotainments
and movies
Cinema: going to the cinema with friends
Novels: reading and writing novels
Creative writing: re-writing ‘CATS’ theatre script and short stories
Gadis kelahiran Jakarta, 27 Maret 1988 ini memiliki hobi menulis novel sejak kelas 5 SD. Ia menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama-nya di SMP Tarakanita 4, Rawamangun Jakarta Timur dan kemudian menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Marsudirini Kemang Pratama, Bekasi. Kini ia sedang melanjutkan kuliah jurusan Mass Communication-nya di STIKOM London School of Public Relations-Jakarta.
Gadis yang biasa di panggil Cea oleh teman-temannya ini memilih mengambil jurusan Mass Communication agar dapat mencapai cita-citnya menjadi seorang editor di sebuah stasiun televisi atau di media cetak.